KOLONIAL INGGRIS DI AFRIKA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Seperti halnya dengan Prancis kedudukan Inggris di Afrika sebagai penguasa kolonial pada waktu sebelum Perang Dunia II sangat menonjol. Kedua negara ini percaya bahwa mereka akan menguasai Afrika untuk waktu yang tidak terbatas, akan tetapi keduanya mengakui kenyataan bahwa orang Eropa tidak dapat mendirikan tempat kediaman yang permanen di Afrika Tropis.
Menurut pendapat James Griffiths politik kolonial Inggris di Afrika dapat digeneralisasikan menjadi dua macam pola. Pertama berdasarkan tradisi C.Rhodes, seorang tokoh pembentuk imperium dan yang kedua berdasarkan tradisi D. Livingstone, seorang liberator. Sebenarnya berbagai macam pelaksanaan politik kolonial Inggris yang diterapkan di Afrika hanya berdasarkan pada dua prinsip tersebut diatas yaitu: (1) penekanan kepada kepemtingan imperium Inggris atau kepentingan kaum kolonis putih ditanah koloni. (2) penekanan pada pertanggunganjawaban sebagai pembimbing untuk penduduk bumiputera.
Dalam makalah ini akan membahas mengenai konsep politik kolonial Inggris di Afrika, latar belakang konsep, pelaksanaan politik kolonial, reaksi penduduk Afrika, dan perubahan-perubahan yang terjadi di Afrika.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat ditarik beberapa permasalahan, yaitu:
1. Bagaimana konsep politik kolonial Inggris di Afrika?
2. Apa latar belakang konsep politik kolonial Inggris di Afrika?
3. Bagaimana pelaksanaan politik kolonial Ingris?
4. Bagaimana reaksi atas pelaksanaan politik kolonial Inggris?
5. Perubahan-perubahan apa yang terjadi?

1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui konsep politik kolonial Inggris di Afrika.
2. Untuk mengetahui latar belakang konsep politik kolonial Inggris di Afrika.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan politik kolonial Inggris.
4. Untuk mengetahui reaksi atas pelaksanaan politik kolonial yang diterapkan oleh Inggris.
5. Untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Politik Kolonial Inggris di Afrika.
Seperti yang telah dibahas pada bab pendahuluan bahwa Politik Kolonial Inggris di Afrika memiliki dua macam pola yaitu berdasarkan tradisi C. Rhodes seorang tokoh pembentuk imperium, dan berdasarkan tradisi D. Livingstone, seorang liberator.
Didaerah-daerah ”Hitam” Afrika Barat tradisi Living Stone lebih banyak diikuti, dibandingkan didaerah Afrika Timur dan Tengah. Karena situasinya lebih kompleks, maka terjadilah persoalan mengenai penggunaan dua tradisi tersebut. Di Rhodesia Selatan dan di Kenya bagian koloni, berlakulah sistem koloni dimana tiap daerah kekuasaan dikuasai oleh seorang gubernur. Dimana gubernur ini merupakan wakil kepala negara Inggris yang dilengkapi oleh dewan eksekutif dan dewan legislatif. Anggota-anggota dewan eksekutif dan legislatif ini sebagian ditunjuk oleh gubernur dan sebagian lagi dipilih langsung oleh warga negara putih dalam masyarakat tersebut. Setelah melalui proses evolusi, anggota yang dipilih oleh dewan-dewan itu dikurangi dan sehingga anggota hasil pilihan lebih banyak. Melalui tingkat self-government, akhirnya pada phase terakhir koloni menjadi negara yang merdeka penuh. Pada tahun 1910 Uni Afrika Selatan memperoleh self-government dan Rhodesia Selatan pada tahun 1923. Proses perkembangan tanah jajahan menjadi negara berpemerintahan sendiri seperti yang telah disebutkan diatas sesudah Perang Dunia II juga dilaksanakan terhadap protektorat dan koloni yang berpenduduk non Putih.
Untuk Afrika Timur kaum imperialis di Inggris memperdebatkan penambahan kekuasaaan kepada pemimppin-pemimpin masyarakat kulit putih di Kenya dalam dewan legislatif dan eksekutif. Pendapat ini dikemukan oleh menteri negara L.S. Amery (1924-1929) yang menggantikan Duke of Devonshire. Devonshire berasal dari partai Konservatif pernah mengemukakan doktrin yang berisi bahwa pemerintah kerajaan secara tegas memandang bahwa kepentingan penduduk bumiputera harus didahulukan dari pada kepentingan ras-ras emigran lainnya. Selanjutnya ia menyimpulkan bahwa pemerintah Kerajaan akan membentuk suatu trust untuk keperluan penduduk Afrika. Akan tetapi pelaksanaan doktrin ini mengalami kesulitan, sehingga tradisi D. Livingstone tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya.
Keadaan penduduk di Afrika tropis dan sub-tropis berbeda. Di Afrika tropis seperti di Afrika Barat Inggris, tidak ada orang Barat yang ingin menetap didaerah tersebut. Karena iklim yang tidak menarik orang-orang Barat, maka di Afrika tropis orang Hitam merupakan mayoritas. Orang-orang kulit putih hanya berjumlaj sedikit, sebagian besar pegawai pemerintah melaksanakan prinsip ”trust” didaerah tersebut. Penduduk bumiputera sangat memegang teguh peraturan yang terdapat dalam lingkungan kulturilnya sendiri. Penduduk bumiputera memajukan tingkat peradabannya tanpa memutuskan hubungan dengan masa lampau. Mereka mengambil metode dan peradaban Eropa, mengikuti kemajuan-kemajuan di Barat. Walaupun dalam banyak hal orang-orang Eropa berkuasa dan memberikan pengaruhnya, namun pada umumnya dapat dikatakan bahwa dibagian Afrika tropis ini, penduduk bumiputera merupakan tuan dalam rumahnya sendiri.
Sedangkan di Afrika sub tropis, dimana terdapat kolonis-kolonis Putih yang mendirikan industri, kota-kota dan perusahaan-perusahaan lainnya, penduduk bumiputera mendapat tantangan yang lebih berat dibandingkan dengan penduduk bumiputera yang berada didaerah tropis. Mereka berhadapan langsung dengan kekuata-kekuatan ekonomi dan sosial bangsa asing. Kemungkinan besar kekuatan-kekuatan tersebut membantu kemajuan materiil, akan tetapi pada umumnya lebih cenderung untuk memprlambat kemajuan spirituil dan kulturil. Pada umumnya dalam masyarakat daerah sub tropis berlaku pemisahan berdasarkan ras, dimana ras Hitam menduduki tingkat yang rendah. Dalam bidang politik mereka tidak terhitung, dan dalam bidang ekonomi mereka sangat lemah. Masalah ras ini terdapat di Rhodesia Selatan dan Afrika Selatan, sedangkan di Kenya dan Uganda kesulitan-kesulitan timbul karena penduduknya bersifat multi-rasial. Dimata orang kulit putih, penduduk bumiputera dianggap sebagai ”hewer of wood” dan ”drawer of water”.
Perbedaan yang menyolok antara Afrika tropis dan sub tropis adalah mengenai masalah tanah.di Gold Coast, Nigeria dan Uganda penduduk bumiputera memiliki tanah dan dikerjakan sendiri. Sedangkan penduduk bumiputera di Afrika Selatan adalah penduduk yang tidak bertanah. Masalah tanah merupakan masalah yang rumit, apalagi kalau tanah itu jatuh ketangan kaum kolonis Putih atau bangsa asing lainnya. Tanah merupakan dasar kemakmuran dan ketenangan bagi penduduk bumiputera.
Prancis yang mengunakan teknik direct rule, berbeda dengan prinsip yang digunkan oleh Inggris yaitu menggunakan teknik indirect rule, untuk memerintah taanah jajahannya di Afrika. Eksperimen Inggris mengenai indirect rule di Afrika Barat dilakukan di Nigeria Utara. Frederick Lugard yang merupakan High Commissioner di Nigeria Utara pada tahun1900-1907 banyak bihubung-hubungkan dengan pemasukan teknik pemerintahan secara indirect rule tersebut. F Lugard kekurangan tenaga administrasi yang terlatih untuk memerintah daerah yang sangat luas itu. Dalam keadaan yang mendesak Lugard terpaksa membiarkan para emir tetap menduduki posnya masing-masing. Mereka tetap berkuasa diwlayahnya, akan tetapi kekuasaan mereka berada dibawah pengawasan residen Inggris.
Kemudian sistem indirect rule juga diterapkan di Nigeria Selatan, Gold Coast, Ashanti, Sierra Leone. Di Afriak Timur sistem ini juga dilaksanakan bahkan di Uganda telah lebih awal dimulai, karena F. Lugard imut mengambl bagian dalam mengatur administrasi daerah tersebut. Sistem indirect rule ini tidak dapat diterapkan di daerah pantai Afrika yang memiliki penduduk campuran dan tidak lagi mengenal tradisi masyarakat kesukuan. Pada tahun 1930 Sir Donald Cameron merumuskan bahwa indirect rule adalah suatu konsep pemerintahan yang memungkinkan penduduk bumiputera melengkapi diri untuk mencapai kemajuan dan berdiri diatas kakinya sendiri. Pemerintah Inggris dan pemerintah bumiputera masing-masing terpisah dengan status dan kewajiban-kewajiban yang berbeda, tetapi keduanya bekerjasama dan merupakan satu pemerintahan. Kewajiban yang harus dilakukan oleh pegawai-pegawai pemerintah Inggris ditujukan terutama untuk melatih penguasa-penguasa bumiputera agar dapat bertindak sebagai penguasa-penguasa yang maju.

2.2 Konsep Politik Kolonial Inggris
Latar belakang Inggris datang ke Afrika adalah untuk menerapkan sistem indirect rule yang bertujuan untuk membimbing penduduk bersama penguasa-penguasa bumiputera untuk mencapai status pemerintahan sendiri dengan cara mempergunakan sebaik-baiknya elemen-elemen dalam masyarakat yang telah dikenal dan dihargai oleh penduduk. Berdasarkan sistem ini maka fungsi pemerintah Inggris bukan menghancurkan kebudayaan dan lembaga-lembaga penduduk bumiputera, tetapi bahkan mempertahankan elemn-elemen yang positif, kemudian digabungkan dengan elemen-elemen berdasarkan gagasan Barat.
Pada tahun 1926 konsep Dual Mandate yang dikemukakan oleh Lugard dan mengandung arti bahwa tugas Inggris di Afrika adalah untuk memenuhi kepentingan Inggris dan penduduk Afrika. Seperti negara-negara kolonis lainnya, Inggris menuntut koloninya untuk dapat memenuhi kebutuhan politik, ekonomi dan moril negeri metropolitan. Akan tetapi disamping itu pembangunan yang dilakukan dikoloni dalam banyak bidang untuk memajukan pendidikan, lalu lintas, perdagangan, ekonomi, kesehatan, pengadilan, penghapusan perbudakan dan sebagainya membawa pengaruh dan perkembangan positif bagi penduduk bumiputera.
Prinsip pokok politik kolonial Inggris yang disebut trusteeship, dimana pemerintah Inggris berkedudukan sebagai pembimbing penduduk bumiputera untuk mencapai pemerintahan sendiri walaupun mengambil waktu yang lama. Lugard berpendapat bahwa Inggris sebagai ”trustee” berkewajiban melakukan pembangunan bagi kemajuan dan peradaban penduduk Afrika dan disamping itu juga Inggris berkewajiban untuk mengembangkan sumber-sumber ekonomi Afrika. Sumber hukum untuk koloni harus dicari di koloni itu sendiri bukan dari pemerintah metropolitan. Administrasi pemerintahan indirect rule memberi kesempatan bagi penduduk bumiputera untuk mencapai pemerintahan sendiri. Inggris bercita-cita agar koloni-koloni yang telah memperoleh pemerintahan sendiri itu menjadi anggota Commonwealth.
Sesudah Perang Dunia II, politik kolonial Inggris tidak banyak berubah. Kecenderungan umum diseluruh wilayah milik Inggris di Afrika adalah untuk:
1. menambah jumlah anggota perwakilan yang terdiri dari orang-orang Afrika dalam dewan-dewan baik eksekutif maupun legislatif.
2. memasukkan elemen memilih dalam dewan-dewan eksekutif.
3. memberikan perhatian lebih kepada pembangunan bidang ekonomi dengan menggunakan bantuan-bantuan berdasarkan program yang direncanakan.
Lord Hailey dan juga seorang pegawai kolonial Inggris, mengemukakan bahwa kegagalan Ingggris bukan dalam hal melakukan eksploitasi, tetapi dalam hal organisasi pembangunan ekonomi yang kurang sistematis. Ia juga menyatakan bahwa Inggris tidak akan berhasil baik dalam membangun lembaga-lembaga politik yang berdasarkan sumber-sumber materiil yang lemah, kesehatan yang kurang memuaskan dan pikiran-pikiran yang tidak maju.

2.3 Pelaksanaan Politik Kolonial Inggris di Afrika.
a. Pelaksanan Politik Kolonial Inggris di Afrika Barat.
Dalam bidang sosial, sesuai dengan program memperluas dan memperdalam kekuasaan Inggris serta melakukan pasifikasi keadaan, maka ia melakukan tindakan sebagai berikut:
1. Mengirim rombongan untuk melakukan penelitian terhadap daerah pedalaman.
2. Memperluas daerah kekuasaan Inggris diwilayah Nigeria
3. Memperbaiki pusat kedudukan pemerintah, dari Lokoya ke Zungeru yang terletak ditepi sungai Kaduna, 12 mil dari Wushishi, tempat garsinun Inggris.
4. Memperbaiki lalulintas, sehingga hubungna lalulintas tidak hanya mengambil jalan sungia seperti sediakala, tetapi juga dengan kereta api.
5. Membuat macam-macam peraturan
6. Mendirikan badan-badan pengadilan.
Rombongan penyelidik dengan tugas meneliti keadaan sosial dan keadaan alam Nigeria Utara segera dikirim dan hasilnya akan besar artinya bagi pelaksanaan program tersebut. Makin luas daerah yang dikuasai oleh Inggris, makin terasa bahwa lalulintas melalui sungai tidak lagi memadai. Demi lancarnya jalan pemerintahan, pengangkutan barang-barang dagangan dan terjaminnya keamanan, maka dibentuklah departemen lalulintas. Pada waktu itu Lagos Railway yang beroperasi di Nigeria Selatan baru menghubungkan Lagos dengan Ibadan. Jalan kereta api ini diperluas ke utara sampai Jebba melalui Ilorin. Atas usul Lugard, disebelah utara didirikan jalan tram yang menghubungkan Zungeru dengan Wushishi. Pembuatan jalan kereta api dibagian utara ini dipercepat karena dua masalah yaitu: (1) kapas Nigeria yang diakui sangat bagus kwalitasnta dapat diekspor secara besar-besaran. (2) insiden pemberontakan di Satiru, dimana pemberontakan ini dipimpin oleh Mahdi.
Dalam bidang politik, perluasan kekuasaan Inggris didaerah utara ini dilakukan dengan cara memberi “surat penunjukan” kepada emir-emir didaerah itu. Surat tersebut berisi bahwa emir yang ditunjuk menjadi kepala daerah harus mengakui kekuasaan protektorat sebagai penguasa tertinggi dan mengikuti perintah High Commissioner.
Pengaruh kepala-kepala daerah bumiputera masih dipertahankan, rakyat diperintah melalui pemimpin-pemimpin yang berkuasa secara turun temurun atau karena dipilih. Susunan pemerintah yang menggunakan pengaruh kepala daerah bumiputera berarti bahwa lembaga-lembaga atau dewan-dewan yang telah lama ada dapat berlangsung terus. Hokum, adapt kebiasaan local tetap berlaku. Akan tetapi para pejabat-pejabat bumiputera bukanlah penguasa yang bebas menjalankan pemerintahan. Mereka diangkat an ditunjuk oleh High Commissioner dan harus tunduk kepada isi “surat penunjukan”.
Untuk menjaga ketertiban dan keamanan dibentuk badan-badan pengadilan yang disebut Supreme Court, Provincial Court, dan Native Coart. Pengadilan tertinggi berada dibawah dibawah kepala kehakiman Inggris, menggunakan prosedur dan hokum Inggris, mempunyai kekuasaan mengadili segala macam perkara didaerah kota, asal bukan perkara penduduk bumiputera. Pengadilan bumiputera mengadili perkara bumiputera dengan menggunakan hukum dan tradisi penduduk.
Daerah kekuasaan Inggris semakin luas, jumlah residen yang semula hanya dua orang ditambah, masing-masing menjadi kepala daerah provinsi. Diseluruh daerah terdapat 11 provinsi dan dibagi menjadi 40 distrik, masing-masing distrik dibawah kekuasaan seorang pegawai urusan politik. Pegawai ini dibantu oleh dua atau tiga orang asisten dan menjalankan tugas yang pada dasarnya mempertahankan barlangsungnya pemerintahan kolonial Inggris. Tugas-tugasnya adalah mendengarkan keluhan-keluhan penduduk, mengadili perkara-perkara yang dimintakan banding, mengusut ketidak adilan, memberi saran perbaikan untuk penguasa lokal. Rencana tentangn sistem pemerintahan yang dibuat secara kebetulan ini membawa hasil yang baik dan memakan biaya yang sedikit, oleh sebab itu diterima baik oleh kementrian Tanah Jajahan.
Dalam bidang pendidikan, Sir Donald Cameron membuat rumusan tentang sistem indirect rule, memperluas bidang pendidikan denagn mendirikan Higher College di Yaba, sebuah perguruan yang tingkatannya tertinggi di Nigeria pada waktu itu. Dalam bidang pendididkan Barat, daerah Selatan lebih maju daripada daerah Utara. Diprovinsi Utara selama beratus-ratus tahun diselenggarakan sekolah-sekolah ayng berdasarkan agama Islam. Pada tahun 1930 pendidikan untuk anak-anak perempuan disebelah Utara baru dimulai.
Pemerintah colonial mulai memperluas bidang pendidikan. Karena banyak pemuda-pemuda yang dikirim kenegara-negara Barat untuk menuntut pelajaran yang lebih mendalam, maka pada generasi baru muncul golongan terpelajar yang mulai mengenal gagasan-gagasan politik, bentuk-bentuk revolusi baik sosial maupun politik. Dalam bidang ekonomi, Kemajuan ekonomi di Sierra Leone merupakan jembatan untuk mendekatkan daerah protektorat dan koloni. Hal ini disebabkan karena pada tahun 1930 sumber-sumber penghasilan terbesar berupa tambang-tambang maupun pertanian terdapat didaerah pedalaman.

b. Pelaksanan Politik Kolonial Inggris di Afrika bagian Selatan
Sesudah perang Boer II berakhir, kekuasaan Inggris di Afrika bagian selatan meliputi Cape Colony, Natal, Orange Colony, Transvaal dan tiga daerah High Commissioner. Tiga daerah ini berada dibawah kekuasaan Inggris, sedangkan empat koloni lainnya berkembang sendiri, menjadi Uni Afrika Selatan dan pada tahun 1948 secara resmi mulai melaksanakan politik ”aparthied”.
Pelaksanaan sistem indirect rule di koloni tidak selalu sama. Pada tahun 1951-1955 sistim indirect rule di Bechuana diganti dengann direct rule, karena danya masalah Khama dikalangan suku Bamangwate. Masalah tersebut yaitu ketika Seretse Khama yang merupakan kemenakan Tsekedi yang menjadi kepala suku Bamangwate menikah dengan wanita Inggris. Pernikahan ini ditentang oleh Tsekedi. Dalam sidang tradisionil, sidang pertama memutuskan menentang tindakan Seretse, sidang kedua tidak dapat mengambil keputusan dan sidang ketiga menerima Seretse sebagai kepala suku bersama isterinya. Tsekedi sangat menentang keputusan tersebut.
Pemerintah Inggris khawatir akan timbulnya konfllik dalam suku tersebut. Oleh sebab itu, maka pada tahun 1950 pemerintah memutuskan mengasingkan Seretse dari protektorat Bechuana selama lima tahun dan dan dalam waktu yang sama itu Tsekedi dilarang tinggal di reseve. Kekosongan kepala suku ini mengakibatkan sistim indirect rule diganti dengan direct rule.
Sesudah mengalami pengasingan selama enam tahun, Seretse dikembalikan kedaerahnya dan menjabat sebagai kepala suku. Isteri dan anak-anknya dapat diterima oleh suku Bamangwate. Mulailah Seretse menghadapi tugas-tugas berat didaerhnya. Pada tahun 1966 Bechuanaland memperoleh keerdekaan. Nama negeri baru ini adalah Botswana dan Sir Seretse Khama menjabat Presiden pertama.
Kepala suku, Subhousa II berusaha memerintah sebaik-baiknya dengan cara melakukan kerjasama dengan seluruh penduduk Swazi, baik Hitam maupun Putih. Kesulitan besar yamh dihadapi adalah menyangkut masalah pendidikan, ekonomi, dan politik. Dibandingkan dengan Basutoland, kemajuan pendidikan di Swaziland lebih lemah. Hanya 25% dari jumlah anak dalam usia sekolah belajar disekolah-sekolah dan sebagian besar terdiri atas anak-anak perempuan. Dalam bidang politik negeri ini menghadapi kesulitan dalam mengubah sistem pemerintahan ”dual” yang berdasarkan pemerintahan tradisionil menjadi sistim pemerintahan modern secara Barat. Namun demikian gagasan-gagasan demokrasi mulai berkembang didaerah itu dan kepala suku memegang peranan besar dalam memajukan daerahnya.
Dalam bidang pendidikan, dibandingkan dengan Swaziland dan Bechuanaland, pendidikan di Basutoland mengalami perkembangan yang paling maju. Pendidikan berada ditangan misi Gereja Evangeli Paris dan Gereja Katolik Roma. Dua pertiga muridnya terdiri atas anak-anak perempuan. Kesadaran naisonal sangat kuat, mereka selalu menentang usaha penggabungna dengan Uni Afrika Selatan walaupun dalam kenyataannya ekonomi mereka tergantung kepada Uni.

c. Pelaksanaan Politik Kolonial Inggris di Afrika Tengah.
Dalam bidang ekonomi, tanah-tanah yang subur jatuh ketangan orang-orang Eropa dan peraturan pajak itu memaksa orang-orang Hitam mengikuti sistem ekonomi uang, berarti mereka terpaksa bekerja pada orang Eropa agar memperoleh uang.
Sejak permulaan abad 20 makin banyak pendatang baru dari Eropa yang datang ke Rhodesia Selatan. Mereka mengusahakan pertanian ditanah-tanah yang subur atau membuka pertambangan. Para kolonis yang makin besar jumlahnya itu menghendaki kedudukan yang tidak tergantung lagi pada pemerintah Inggris.
Dalam bidang sosial, bertambahnya penduduk kolonis secara tiba-tiba sesudah perang berakhir membawa gagasan-gagasan baru yang menyangkut masalah ras. Perdana menteri Golfrey Huggins yang mempunyai gagasan liberal, menyatakan bahwa masyarakat Putih tidak dapat hidup tanpa buruh Hitam. Kehidupan orang Hitam harus ditingkatkan, tetapi orang-orang Afriak itu harus tetap tinggal ditempat mereka masing-masing.
Huggins juga membuat peraturan pemilihan seperti yang pernah dijalankan di provinsi Cape. Sistem pemerintahan itu ditujukan kepada semua ras dengan ketentuan bahwa yang dapat memiliki hak pilih adalah mereka yang mempunyai pendapatan sebesar £ 100 per tahun atau kekayaan sebesar £ 150 dan lulus tes bahasa Inggris. Hasilnya tidak seorangpun dari penduduk bumiputer dapat memiliki hak pilih. Pada umunya mereka jatuh dalam menempuh tes bahasa. Akibatnya parlemen Rhodesia Selatan tetap dikuasai oleh orang-orang Eropa.
Rhodesia Utara mengalami perkembangan yang berbeda. Sebagai daerah protektorat, penduduk bumiputera ”dilindungi” itu tidak memiliki hak pilih. Hanya warganegara Inggris yang mempunyai hak pilih dan mereka mendapat separuh jatah jumlah kursi di dewan legislatif. Pemerintah menunjuk orang Eropa yang diberi tugas mewakili penduduk bumiputera.
Pada tahun 1948 ketika pemerintah Afrika Selatan dengan resmi melaksanakan politik ”apartheid”, penduduk bumiputera Rhodesia Utara makin menentang kekuasaan Putih di negerinya. Dengan maksud agar supremasi Putih di Afrika Tengah dapat dipertahankan, Higgins dan Roy Welensky menyetujui gagasan pemerintah Inggris. Konferensi untuk membicarakan masalah tersebut segera diadakan, akan tetapi dalam konferensi tersebut tidak terdapat wakil penduduk bumiputera. Akibatnya Dr. Banda memimpin delegasi kepada pemerintah Inggris dan memprotes tindakan orang-orang Putih di Afrika Tengah. Wakil-wakil Afrika tersebut diterima oleh menteri Tanah Jajahan yaitu James Griffiths yang berasal dari partai buruh. Dimana menteri ini meyakinkan Dr. Banda dan kawan-kawannya bahwa usul yang akan disampaikan oleh masyarakat Putih di Afrika Tengah tidak akan diterima. Akan tetapi karena adanya perubahan kabinet akhirnya usul pemebntukan federasi oleh masyarakat Eropa di Afrika Tengah diterima.
Pada tahun 1964 Rhodesia Utara mendapat status ”self goverment dan mengganti namanya dengan Zambia. Demikian pula Nyasaland yang mnegambil nama baru yaitu Malawi.

2.4 Reaksi dan Perubahan yang Terjadi Akibat Pelaksanaan Politik Kolonial Inggris di Afrika.
A. Reaksi daerah lokal
a. Reaksi di Afrika Barat
Nigeria adalah salah satu wilayah yang ada di Afrika Barat yang terdiri dari orang-orang Hausa, Ibo dan Yoruba. Masyarakat ini beragama Islam dan masih bersifat konservatif terutama pada negara-negara barat. Dengan sistem pemerintahan yang Aristokrasi dan sudah tertata dengan baik. Terdapat juga suku-suku yang lainya dengan kehidupan yang tidak terlalu baik.
Setelah pemerintah Inggris menguasai daerah ini dan mengantinya dengan pemerintahan Royal Niger Compeny (1 Januari 1900) dengan penguasanya Sir Lugard. Banyak polimik yang terjadi akibat hal ini salah satunya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh ”Mahdi” terjadi pada tahun 1906 pemberontakan ini terjadi di Satiru 15 mil dari Sakoto, pemberontakan ini terjadi akibat dari penolakan atas sistem pemerintahan baru yang dilakukan oleh Inggris dengan menjadikan Emir baru sebagai kepala suku.
Setelah berada di bawah kekuasaan Inggris bidang pendidikan mulai di perhatikan daerah selatan lebih maju bidang pendidikanya dari pada daerah utara. Banyak di antara pemuda-pemuda dikirim ke negara-negara barat untuk belajar lebih mendalam lagi, maka munculah generasi baru yaitu generasi kaum terpelajar yang mulai mengenal gagasan-gagasan politik, dan bentuk-bentuk revolusi baik sosial maupun politik. Dari pengetahuan inilah maka para kaum terpeljar mulai melakukan berbagai reaksi terhadap pemerintahan kolonial dan sistem sosila yang mesih dipertahankan oleh para kepala-kepala pemerintahan tradisional di daerah-daerah. Tidak hanya kaum terpelajar yang mengiginkan terjadinya perubahan tetapi dari kaum tentara Afrika. Sedangkan didaerah Nigeria selatan dan daerah koloni Gold Coast penduduknya mengiginkan perubahan yang radikal terhadap kekuasaan kolonial dan kaum tradisional, gerakan nasional di Nigeria Selatan dipimpin oleh Dr. Azikiwe, pergolakan-pergolakan pun tidak dapat dihindari baik yang dilakukan oleh kelompok buruh, pers dalam kelompok lainya yang mementang koloni. Pertentangan juga muncul dari kelas menegah profesional dan dari pihak radikal sejak tahun 1930. kedua pihak ini bekerja sama dalam hal menentang pemerintahan kolonial yang pada awalnya kedua kelompok ini saling bertentangan. Kelompok profesional mengiginkan adanya pergantian di dalam pemerintahan dari orang-orang kulit putih, sedangkan kaum radikal mengiginkan adanya perombakan sosial. Kerjasama juga terjadi di antara orang-orang Creol di koloni dengan penduduk pribumi untuk kemerdekaan negara mereka.

b. Reaksi dan perubahan di Afrika Selatan
Reaksi di Afrika selatan dimulai pada saat terjadinya masalah Khama. Masalah ini terjadi dikalangan suku Bamangwate pada tahun 1948. Khamal adalah seorang kepala suku yang menikahi gadis dari Inggris. Perkawinan ini menimbulkan reaksi dikalangan petinggi suku, wakil dari kepala suku (Tsekadi) sendiri tidak menyetujui pernikahan ini karena mereka sangat tidak menyukai orang-orang Inggris. Terjadi perdebatan yang panjang mengenai hal ini sidang pun tidak terhindari masalah ini baru dapat diselesaikan pada saat sidang ketiga kalinya. Barulah Seretse (kepala suku) dapat diakui bersama istrinya. Pada tahun 1966 Bechuanaland memperoleh kemerdikaan dengan Sir Seretse Khama sebagai presiden pertamanya.
Di daerah Basutoland pertentangan terjadi antara kelumpok komisi (1954), kelompok politisi dan Paramount Chief. Kaum politisi perhatianya lebih kepada pembentukan dewan Legislatif sedangkan pihak komisi tidak pernah membahas masalah tersebut sedangkan di pihak Paramount Chief tibmul kekawatiran akian pengaruh mereka yang semakin berkurtang. Dibandingkan daerah Swaziland dan daerah Bechuanaland, pendidikan di daerah Basutoland yang paling maju. Dan tingkat kesadaran Nasionalismenya sudah sangat kuat oleh sebab itu maka selalu terjadi pertentangan terhadap masalah pengabungan daerah mereka dengan Uni Afrika Selatan.

c. Reaksi dan perubahan yang terjadi di Afrika Tengah
Pertentangan di daerah ini tidak kalah serunya dengan pertentangan yang terjadi diberbagai daerah lainya di Afrika. Masalahnya hampir sama disetiap daerah yaitu masalah pengakuan dan hak yang sama antara kaum koloni dan masyarakat pribumu. Masyarakat pribumi menolak terjadinya pengabungan daerah mereka seperti yang dialami di daerah Rhodesia selatan dan Afrika selatan. Jumlah penduduk dikota semakin banyak maka pada tahun 1940 sejummlah 15.000 pekerja tambang Nkana dan Mufilira melakukan pemogokan kerja, dan dilanjutkan dengan pemogokan kerja dilingkungan perkereta apian.
Pada saat pemerintahan Afrika Selatan resmi melaksanakan politik Aparthaidnya 1948, penduduk pribumi Rhodesia Utara semakin menentang kekuasaan kulit putih di negerinya. Sedangkan masyarakat di Afrikaner di Rodesia Utara dan Selatan mengharapkan pengabungkan dengan Uni Afrika Selatan. Di daerah Rhodesia Utara perserikatan buruh semakin maju dan berusaha membentuk kekuaatan di Afrika Tengah dengan cara menggabungkan Rhodesia Utara, selatan dan Nyesaland menjadi satu Federasi.
Keadaan protektorat Nyasaland tidak sama dengan daerah lainya di Afrika tengah, masyarakat mereka sedikit dan banyak kerja di luar daerah. Tokoh terkemuka di daerah ini adalah Dr. Hasting Banda. Ia mengusulkan agar di Nyasaland dibentuk sebuah kongres Nyasaland yang terbentuk pada 1944 Afrika Nasional Congres. Dengan tuntutannya memajukan kedudukan sosial-ekonomi dan menentang diskriminasi ras. Dr. Banda juga mengusulkan pembentukan federasi untuk masyarakat pribumi dan federasi Rhodesia dan Nyasaland mulai berlaku pada bulan September 1953.

d. Reaksi dan Perubahan yang Terjadi di Afrika Timur dan Utara
Afrika Timur berpenduduk multirasial dengan masyarakat berganda. Penduduk Afrika Timur Inggris terdiri atas orang-orang Hitam, Putih dan Asia. Selain orang Hitam dan Putih di daerah Afrika ini juga terdapat masyarakan Hindu yang nantinya memiliki peranan penting di pemerintahan. Mereka bekerja sebagai tukang kayu, ahli mesin, pegawai Kereta Api dan pedagang-pedagang. Masuknya pendidikan barat ke daerah Timur membuat banyak masyarakat pribumu menjadi maju dan berkembang dengan baik. Uganda berkembang menjadi negara Afrika yang dimana orang-orang kulit Hitamnya mempunyai kekuasaan basar, bertolak belakang dengan daerah Kenya yang orang-orang kulit hitamya terdesak oleh orang-orang kulit putih. Setelah perjanjian yang dilakukan oleh Inggris dan Jerman tentang perbatasan daerah kekuasaan Uganda menjadi semakin besar. Pada tahun 1900 dicapai persetujuan Uganda Inggris dan pemerintahan Buganda yang berisi tentang pengakuan terhadap Kabakan sebagai penguasa Konstitusionil dinegerinya. Namun Kabakan harus berjanji untuk bekerjasama secara loyal kepada pemerintah Inggris.
Kabakan Daudi Chwa memerintah sampai 1939 Dan kemudian diganti oleh anaknya Kabakan Frederick Mutase II. Pada tahun 1953 raja Buganda menuntut kemerdekaan atas negerinya Karena penduduk Buganda menolak adanya dua tuan yang menguasai pemerintahan. Reaksi nasionalisme di Uganda mulai muncul setelah terjadi perang dunua II dan di Afrika secara umum. Atas banyaknya tuntutan yang diberikan oleh para kaum pribumu dan penduduk Afrika lainya maka dikeluarkanlah White paper yang mengatakan bahwa Kenya adalah daerah Afrika maka kepentingan penduduk Afrika harus didahulukan selain itu juga kepentingan masyarakat lain yang non Afrika.
Peristiwa Mau-Mau (1953) adalah peristiwa besar yang sulit dilupakan oleh penduduk Eropa yang pada saat itu berada di Kenya. Peristiwa ini terjadi pada saat penyerangan yang dilakukun oleh para gerelia Mau Mau terhadap para penduduk dan petani putih yang berada didaerah pertanian terpencil di Kenya. Gerakan ini mengahiri pengaruh Eropa yang menanjak dan juga berpengaruh terhadap pemerintah Inggris, yang kemudian semakin memberikan perhatian yang penuh terhadap Kenya. Gerakan Mau Mau ini juga memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan pergerakan di Afrika.
Gerakan berikutnya adalah gerakan Kenya Afrika Union dibawah pimpinan Jomo Kenyatta yang bersifat anti terhadap Eropa. Gerakan ini menerbitkan selebarab, Kenya, land of Conflict. Berisi suatu peringatan yang menyatakan apabila kaum kolonis putih tidak meniggalkan Kenya, maka di Kenya akan terjadi revolusi. Tahun 1947 Kenyatta terpilih sebagai ketua Kenya Afrikca Union. Yang kemudian gigih berjuang melawan dominasi barat. Pada tahun 1952 ia dan lima orang pengikutnya dipenjara akibat tuduhan terlibat dalam peristiwa Mau Mau. Setelah bebas ia melnjutkan perjuangannya kembali dengan cara mencontoh gerakan Ghandi di India yang tidak mengunakan kekerasan.
Di Tangayika masyarakat non Afrika lebih besar dari pada penduduk pribumi. Tetapi pihak Inggris melaksanakan prinsip Inderct rule. Dengan membiarkan kepala-kepala daerah pribumi tetap berkuasa. Di tahun 1949 Gubernur merancang pemerintahan baru dengan memperluas keanggotaan dewan legeslatifnya tahun 1955. Masing-masing ras memiliki jumlah wakil yang sama di lembaga ini. Tetapi Tangayika tetap ingin mendapatkan pemerintahan sendiri. Tokoh utamanya adalah Julius Nyarere pemimpin Tangayika Afrika Nasional Union. Mei 1961 Tangayika mendapatkan hak mengatur pemerintahan kedalam dan pada bulan Desember mendapatkan kemerdekan. Di Afrika Utara pengaruh Inggris sangat besar terutama didaerah Masir dan Sudan Sejak kekuasaan Arabi dapat dipatahkan dalam perang Tel-el-Kebir. Dalam memerintahnya di tanah Mesir, pemerintahan Inggris mendapatkan berbagai macam kesulitan, salah satunya adalah dalam hal ekonomi. kepemimpin di Mesir dipercayakan kepada Cromer. Untuk mengatasi masalah ekonominya ia melakukan penghematan pembiayaan pendidikan, gaji aperatur pemerintahanya dan pengurangan tenaga kerja di dalam depertemen pemerintahanya. Masalah social-ekonomin ini menyebabkan keadaan penduduk secara umum menyedihkan, oleh sebab itu kecurigaan penduduk terhadap orang asing semakin tebal Terlebih setelah kekuasaan Lord Cromer yang tidak hanya berperan sebagai pengatur keuangan Mesir tetapi juga sebagai pengemudi pemerintahan yang notabenenya masih secara resmi dipegang oleh Khadivi kerajaan Mesir.
Pertentangan awalnya dilakukan oleh tokoh-tokoh Mesir untuk menentang kekuasaan Cromer, diantara tokoh-tokoh ini adalah Pedana Mentri Nurban Pasha dan Riaz pasha. tokoh-tokoh ini memang merasa penting kekuasaan Inggris di daerahnya untuk menjamin keamanan negerinya. Tetapi yang di sesalkan adalah keadaan de fakto bahwa admimistrasi pemerintahan tidak dipegang oleh bangsanya sendiri. Untuk waktu yang lama Inggris tetap berkuasa di Mesir. Dan pada tahun 1922 Mesir memperoleh kemerdekaan, akan tetapi kemerdekaan ini tidak penuh, karena urusan pertahanan, komunikasi dan Sudan masih dipegang oleh Inggris. Barulah pada tahun 1936 kemerdekaan Mesir di dapatkan secara penuh setelah Inggris meninggalkan Cairo. Tetapi kota Cairo tetap menjadi tempat Inggris dan Amerika selama perang berlangsung. Setelah perang usai Mesir menjadi daerah yang sangat berkembang dan kota Cairo menjadi kota terbesar di Afrika. Tapi Inggris sendiri belum secara penuh meninggalkan Mesir. Penduduk pun membuat partai yang dikenal dengan nama partai Wafd dibawah pimpinan Zaghlul Pasha merupakan perintis revolusi masa melawan Inggris.
Kebencian masyarakat terhadap sikap bertele-tele Inggris menyebabkan masyarakat Mesir semakin tidak sebar untuk mengusir kekuasaan Inggris dari Mesir. Kehidupan yang korup dikalangan istana menambah ketidakpuasan dikalangan opsir-opsir muda Mesir. Setelah terjadi bentrok antara tentara Inggris dan polisi Mesir di zone terussan, timbulah keributan di Cairo pada permulaan tahun 1952. Kemudian diikuti oleh pergolakan Coup d’ etad yang dipimpin oleh colonel Nasser. Raja dipaksa meletakan jabatan dan jendral Nagib menjadi Presiden merangkap Pedana Menteri. Setelah mengalami beberapa kali Kemerdekaan Mesir baru benar-benar mardeka pada tanggal 1 Januari 1956. Hal yang serius dihadapi kemudian adalah masalah pemersatuan daerah Sudan sebagai bangsa yang utuh. Antara Sudan Utara yang berpenduduk Arab dan beragama Islam dangan daerah Selatan yang penduduk Negro non Muslim.

B. Reaksi dunia internasional
Dalam hal ini, tidak terlalu tampak reaksi dari masyarakat internasional karena daerah Afrika sendiri telah terbagi-bagi sesuai dengan negara-negara Eropa yang mendudukinya. Seperti Jerman dan Francis. Antara negara-negara Eropa ini telah memiliki wilayah masing-masing di Afrika. Agar daerah jajahan dari masing-masing negara Eropa tidak saling klem, maka dilakukan beberapa kesepakatan diantaranya perjanjian Inggris dan Prancis 1898tentang tapal batas daerah-daerah utara dan barat Gold Coastyang berbatasan dengan wilayah milik Prancis. Dan ada pula perjanjian Jerman dan Inggris tahun 1899 yang bersepakan untuk menentukan batas-batas timur dan utara Gold Coast yang berbatasan dengan daerah Togo milik Jerman.
Jadi perjanjian-perjanjian inilah yang membuat negara-negara Eropa yang berada di Afrika dapat hidup dengan damai karena telah memiliki daerah jajahan masing-masing. Setalah terjadinya perang dunia II, daerah-daerah di Afrika menjadi semakin maju karena negara-negara Eropa yang ada disana semakin memberikan perhatian yang penuh terhadat daerah-daerah koloninya. Dan pengaruh perang dunia II jugalah yang memberikan dorongan tersendiri kepada berbagai kaum nasionalis di Afrika untuk semakin gencar menyuarakan rasa nasionalismenya.

DAFTAR PUSTAKA

Soeratman Darsiti. 1974. Sejarah Afrika Zaman Imperialisme Modern Jilid II. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada

Tinggalkan komentar