KOLONIAL PERANCIS


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Bangsa Barat datang ke Afrika dengan tujuan ekonomi. Tidak ketinggalan dengan Negaara Prancis yang pada saat itu juga membutuhkan daerah imperialisme. Konsep penguasaan ini, dipengaruhi oleh keinginan Prancis untuk mengimbangi Jerman. Politik kolonial Prancis didaerah-daerah koloni dijalankan bersadarkan suatu dokrin ”asimilasi”, hal ini dilakukan untuk memPranciskan Afrika terutama daerah koloni prancis. Tujuan polotik ini dilaksakan untuk mengintegrasi daerah milik daerah di seberang lautan dengan Prancis, mengasimilasi penduduk koloni dalam rangkaian mengintegrasi penduduk diluar Prancis dalam segala aspek kehidupan.
Dalam penerapan politik dan demi tecapai cita-cita Prancis di Afrika, maka penduduk Afrika diberi kesempatan untuk mendapat pendidikan walaupun dibatasi. Pada Perang Dunia II Prancis diduduki oleh Jerman maka bersedia bekerja sama dengan Jerman dan French Commitee of Nation Liberation. Seorang pemimpin Afrika Tengah yang memihak perintah De Gaulle, meminta untuk mengadakan konferensi, keputusan yang diambil dalam konferensi itu yaitu mencakup tiga bidang organisasi politik, masalah-masalah sosial, dan masalah ekonomi. Dalam pelaksanaan politik kolonial Prancis ini dilaksanakan di Afrika Hitam, dan di Afrika Arab.Pelaksanaan politik ini banyak mengundang reaaksi orang baik dari Afrika maupun dari dunia Internasional. Hal ini memnimbulkan perubahan yang besar bagi Afrika. Pada makalah ini akan dibahas secara mendalam Koloni Prancis di Afrika.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat ditarik rumusan masalah, yaitu:
1. Apa konsep politik kolonial Prancis di Afrika?
2. Apa latar belakang munculnya konsep kolonial Prancis di Afrika?
3. Bagaimana pelaksanaan politik kolonial Prancis di Afrika?
4. Bagaimana reaksi penduduk lokanl dan Internasional terhadap politik kolonial Prancis di Afrika?
5. Apa perubahan yang terjadi di Afrika dengan adanya politik kolonial Prancis?
1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui konsep politik kolonial Prancis di Afrika.
2. Untuk mengetahui latar belakang munculnya konsep kolonial Prancis di Afrika.
3. Untuk menjelaskan pelaksanaan politik kolonial Prancis di Afrika.
4. Untuk mengetahui reaksi penduduk lokanl dan Internasional terhadap politik kolonial Prancis di Afrika.
5. Untuk mengetahui perubahan yang terjadi di Afrika dengan adanya politik kolonial Prancis.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Politik Kolonial Prancis di Afrika.
Koloni Prancis di Afrika sebelum Perang Dunia I eliputi: Afrika Barat Laut terdiri Tunis, Aljazair dan Maroko. Afrika Barat :dari gurun pasir Sahara sampai Teluk Guinea. Afrika Equatorial, terdiri atas Gabon, Congo Tengah dan Ubangi Shari-Tsad. Afrika Timur dipantai Teluk Aden, Somali prancis dan beberapa pulau antara lain Madagaskar, Reunion dan Comoro. Sesudah Perang Dunia I berakhir, sebagian besar Togo dan Kamerun-bekas koloni Jerman menjadi daerah mandat dan diserahkan kepada Prancis. Ketiga wilayah besar itu yang menguasai tidak hanya Prancis, tetapi negara Spanyol, Portugal, dan Inggris.
Perkembangan penduduk Prancis sangat lambat, dibandingkan dengan perkembangan penduduk Jerman, dan negara ini merupakan saingan utama Prancis. Untuk merealisasi cita-cita ”revanche” atas kekalahnnya pada tahun 1871 terhadap Jerman maka syarat yang harus dipatuhi adalah Prancis harus memiliki tenaga manusia yang dapat mengimbangi jumlah yang telah dicapai oleh lawannya. Prancis dapat mengimbangi jumlah penduduk Jerman apabila memperhitungkan koloni-koloninya. Kepentingan ekonomi, kepentingan politik mendorong Prancis menggunakan daerah koloninya untuk mencapai tujuannya terutama persediaan penduduk Afrika dijadikan untuk keperluan perang bagi Prancis. Daerah-daerah kekuasaan Prancis menjadi daerah otonomi Prancis dengan dipimpin serang High Commissioner , yang bertindak sebagai wakil perintah. Prancis pemegang kekuasaan dan bertanggunggng jawab atas keamanan daerah koloni tersebut.
Sebelum Perang Dunia II, politik kolonial Prancis dijalankan berdasarkan dokrin ”asimilasi”. Teori ini mendasarkan orang-orang Afrika dapat dijadikan orang Prancis. Prinsip asimilasi tersebut mengandung gagasan yang tercetus dalam zaman revolusi”equality” dan fraternity”, serta filsafat politiknya ”paternalisme”. Tujuan polotik ini dilaksakan untuk mengintegrasi daerah milik daerah di seberang lautan dengan Prancis, mengasimilasi penduduk koloni dalam rangkaian mengintegras penduduk diluar Prancis dalam segala aspek kehidupan (politik, sosial, ekonomi, etnis, religius, maupun kulturil). Dalam mencapai tujuan ini maka bahasa-bahasa Afrika dan kebudayaannya tidak diberikan dalam pendidikan kolonial Prancis.

2.2 Latar Belakang Munculnya Konsep Politik Kolonial Prancis di Afrika
Adanya konsep kolonial Prancis di Afrika dijalankan demi membentuk bloc francais, bahwa politik kolonial Prancis tidak akan pernah memajukan daerah koloninya ke perintahan sendiri. Dengan mengasimilasi penduduk di Afrika maka dibutuhkan koloni yang berpendidikan Prancis serta pemimpin-pemimpin politik. Hal ini terlihat di Senegal dan Pantai Gading. Untuk dapat menghasilkan kelompok-kelompok yang berpendidikan Prancis dibutuhkan keadaan tenang, diberi kesempatan untuk mendapat pendidikan yang baik dan terbatas, diselenggerakan pekerjaan umum, dan dimasukkan kekuatan-kekuatan baru. Setiap daerah koloni perkembangannya tidak sama karena dipengaruhi oleh kemajuan penduduk yang sangat rendah.
Penduduk yang kemajuannya sangat rendah dan memiliki kebudayaan yang sangat kuat maka politik asimilasi diganti dengan politik asosiasi, dimana pendidikan diberikan kepada sekolompok kecil bumi Putera, golongan elite, dan diajak kerjasama dengan pegawai-pegawai Prancis untuk membawa kultur Barat pada umumnya. Pada tahun 1939 tercipta kelompok elite dan dapat memperleh kewarganegaraan Prancis. Perintahan di koloni diatur dan dikendalikan sesuai dengan pemerintahan di Prancis. Dimana Prancis sebagai puncak pimpinan. Kekuasaan dipegang menteri tanah jajahan , parleman, dan pegawai-pegawai di daerah. Dalam bidang ekonomi, perekonomian penduduk di daerah koloni kurang diperhatikan. Prancis sungguh-sungguh mengesploitasi kekayaan bumi Afrika.
Ketika Prancis diduduki oleh Jerman maka Prancis dan Jerman menjalin kerjasama, juga dengan pemerintah di Inggris. Tetapi Eboue seorang pemimpin Afrika tengah, lebih memihak perintah di Inggris, dan ia mengusulkan diadakannya konferensi di Brazzaville tahun 1944. untuk membicarakan daerah koloni-koloni. Tujuan koferensi ini adalah: untuk membentuk dewan perwakilan di koloni, membentuk parlemen koloni baru di Paris, mengadakan pembaharuan dalam bidang ekonomi, dan sosial.

Konferensi Brazzaville 1944 mengambil keputusan yang mencakup tiga bidang yaitu:
a. Organisasi politik
b. Masalah-masalah sosial
c. Masalah-masalah ekonomi

a. Organisasi Politik Kolonial Prancis
Organisasi politik kolonial di Prancis yaitu:
1. Diharapkan koloni-koloni akan mempunyai wakil di Assembly.
2. Adanya wakil-wakil di Prancis Metropolitan, agar perintah menjadi lebih teratur.
3. Setiap pembaharuan yang akan diadakan hanya untuk memperbaiki sistim perwakilan yang dibuat tahun 1939.
4. Membetuk Colonial Parlilement atau Federal Assemly untuk menjamin Frenc Federation.
5. Penguasa legislative di koloni-koloni dalam melaksanakan tugasnya harus menyesuaikan dengan keputusan-keputusan yang diambil oleh kekuasaan sentral atau badan federasi dan dari berbagai daerah.
Organisasi polotik dikoloni: dalam melakkukan tugas administrasi di daerah, maka kepala-kepala kolonin harus mempunyai inisiatif atau kreatif. Dan diusulkan juga agar lembaga-lembaga konsultatif dihapuskan dan diganti dengan politik yang lebih berguna. Tujuannya agar koloni secara berangsur-angsur mencapai tujuannya. Dalam melengkapi kepentingan administrasi di koloni. Pengganti lembaga-lembaga konsultasi adalah:
1. Counsil of subdivision dan Regional Counsil, beranggotakan bangsawan bumi putera dan dilengkapi dengan lembaga traisional yang ada.
2. Dewan-dewan Perwakilan yang anggotanya sebahagian terdiri atas orang-orang Eropa dan sebahagian lainnya penduduk bumiputera. Anggota lembaga tersebut dipilih melalui pemilihan umum, peraturan tersebut dapat dijalankan dimana saja.
b. Masalah sosial
Hal-hal pokok yang perlu diperhatikan orang-orang Eropa dalam menjalankan koloninya di Afrika:
1. Syarat mutlak untuk memajukan penduduk bumiputera. Dan aktivitas orang Eropa di Afrika harus disesuaikan dengan situasi di Afrika.
2. Untuk mencapai kemajuan di Afrika harus bekerja sama dengan orang Afrika dan di luar Afrika.
3. Perdagangan yang telah dimiliki Eropa harus kembali ke penduduk bumiputera.
4. Pendidikan harus ditingkatkan demi memenuhi kebutuhan kantor umum. Calon pegawai diseleksi dan diberi pelatihan.
5. Mendesaknya kebutuhan pegawai di Afrika.
c. Maslah-masalah Ekonoi
Tujuan politik ekonomi kolonial adalah untuk memajukan produksi dan membawa kemakmuran bagi penduduk di sebrang lautan. Caranya dengan menaikkan standar hidup penduduk. Perintah menganjurkan adanya industrialisasi dan penelitian di daerah kolonial untuk memperbaiki kualitas pertaniaan dan hasilnya.
Setelah Perang Dunia II berakhir maka diadakan pembaharuan terhadap keputusan di Brazzaville, pada tahun 1946 keluarlah konstitusi baru, isinya yaitu:
 Status koloni yang sendiri diubah menjadi ikut dalam lembga Prancis. Dan membentuk hubungan federal dibatalkan.
 Prancis bersatu dengan koloni-koloninya dalam satu kesatuan.
 Terbentuknya Assembly of the Union di Paris merupakan usaha memegang teguh politik sentralisasi dan asimilasi.
 Diadakan pembaharuan dalam bidang ekonomi yaitu: membentuk satu lembaga Colonial Development and Welfare Fund . Hal ini dilakukan untuk pembiayaan proyek-proyek di Afrika.
 Orang Prancis boleh menikah dengan penduduk bumiputera.
 Hak milik tanah secara individual harus mempunyai legalitas untuk mencegah kepemilikan bersama atau kolektif.
 Pada tahun 1956 diterapka politik kolonial Prancis berdasarkan loicadre atau politik asimilasi. Dimana politik ini semakin berkembang dan mengarah pada sistem demokrasi di Afrika. Konstitusi baru untuk Republik Prancis V (1958) mengakui tuntutan-tuntutan daerah, dan mengubah bentuk French Union untuk memenuhi kebutuhan.
 Dibentuknya suatu Community oleh Presiden De Gaulle yang bertujuan untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri. Hal ini mengakibatkan diselenggarakannya referendum De Gaulle 1958.

2.3 Pelaksanaan politik kolonial Perancis di Afrika
a. Pelaksanaan politik kolonial Perancis di Afrika Hitam.
Pola politik kolonial Perancis yang berdasarkan doktrin “Asimilasi” ternyata tidak mudah dilaksanakan di seluruh wilayah Perancis di Afrika. Di Afrika Barat, Senegal adalah yang paling maju menerima politik tersebut, kemudian menyusul Pantai Gading. Oleh karena kemakmuran dan kemajuannya, maka sesudah Perang Dunia II berakhir, Senegal dan Pantai Gading-lah memiliki inisiatif terbesar dalam hal perjuangan sosio-politik negerinya.
Senegal merupakan koloni Perancis tertua di Afrika Barat. Hubungan pertama dilakukan melalui pulau Goree (2 Mil dari Dakkar sekarang) dan pulau kecil St. Louis, di kuala Sungai Senegal. Kedua pulau tersebut pada tahun 1659 menjadi milik Perancis, walaupun pada waktu kemudian sering berpindah tangan kepada Belanda dan Inggris disebabkan karena peperangan. Sejak 1916 semua penduduk Afrika yang lahir dikedua pulau kecil tersebut, di Rufisque dan di Dakkar secara otomatis menjadi warga negara Perancis. Kedua pulau tersebut tidak hanya menjadi pusat bagi Senegal, tetapi juga bagi Federasi Afrika Barat Perancis. Senegal mempunyai hubungan yang erat dengan Eropa, terutama dengan Perancis, sehingga kultur Perancis sangat besar pengaruhnya didaerah tersebut.
Dalam bidang pendidikan, Senegal menduduki tingkat tertinggi. Sekolah-sekolah menengah yang didirikan oleh pemerintah menghasilkan “Senegalats” (orang Senegal) yang berpendidikan. Golongan inteligensia Senegal ini kemudian terpencar ke daerah-daerah lain di Afrika Barat dan Afrika Equatorial Perancis. Lama kelamaan istilah “Senegalais” diberi arti orang Afrika Barat Perancis. Didirikan pula sekolah-sekolah sastra, teknik, pusat-pusat latihan, sekolah-sekolah dasar oleh misi bagi anak-anak Perancis dan Hitam. Di Dakkar dibangun Institut Francais d’Afrique Noire dan universitas yang pertama di Afrika Perancis.
Adapun tokoh-tokoh Senegal seperti Leopold Senghor, seorang elit politik dan seorang sastrawan juga terkenal sebagai tokoh gerakan Negritude, suatu gerakan kulturil yang dipakai oleh Senghor untuk mempertahankan kultur Afrika terhadap asimilasi Perancis. Selain L. Senghor tokoh-tokoh berpendidikan lainnya ialah ; Mamadcu Dia, seorang Ekonom terkemuka dan Perdana Menteri pertama Senegal; Lamine Gueve, Walikota Dakkar; M. Blaise, seorang politikus dan lain sebagainya.
Pada 1920 dan 1925 di Senegal dilakukan reorganisasi St. Louis, kota yang didirikan sejak 1659 dijadikan ibukota dan merupakan pusat kebudayaan. Dakkar dijadikan basis angkatan laut dan untuk memperkuatnya pada 1929 ditambah dengan pulau kecil Goree. Dalam kesibukan dagang, Dakkar menyerupai Bandar-bandar Marseille dan Le Havre dan selain angkatan laut, Dakkar juga merupakan basis angkatan perang dan udara.
Pada 1904 sampai 1959 Dakkar dijadikan ibukota Federasi Afrika Barat Perancis. Daerah Federasi berukuran kira-kira 1.850.000 Mil Persegi itu mempunyai penduduk sebesar 18 juta jiwa (berdasarkan sensus 1955). Sepertiga wilayahnya gurun pasir dan berpenghuni sedikit. Dibanding dengan Pantai Gading, Senegal lebih miskin. Akan tetapi karena sejak lama pemerintah Perancis memberikan perhatian yang besar, maka Senegal maju dengan pesat dalam bidang pendidikan, politik maupun kesejahteraan. Lebih-lebih saat Dakkar menjadi ibukota Federasi, tidak sedikit bantuan Perancis untuk Afrika Barat diperlukan untuk pembangunan Dakkar. Hubungan jalan kereta api diperluas. Pada 1885 telah dibuka hubungan kereta api Dakkar-St. Louis dan pada 1924 Dakkar-Sungai Niger. Industri-industri yang telah ada industri khemis, pembersih minyak, phospat, kalsium, dan tekstil diperluas. Untuk kepentingan pelayaran, pertanian dan industri-industri dibangun sebuah bendungan di Sungai Senegal guna menghasilkan kekuatan Hydro-Elektris.
Dalam bidang politik, sejak 1848 Perancis telah mengumumkan bahwa penduduk koloni mempunyai hak untuk memilih wakil-wakilnya ke National Assembly. Senegal juga diberi hak untuk mengatur pemerintahan kotapraja. Hal semacam ini tidak pernah diperluas ke daerah-daerah Perancis lainnya di Afrika Barat dan Equatorial, sedang wakil Afrika yang pertama-tama dalam National Assembly baru muncul pada 1914. Dengan adanya Konferensi Brazzaville (1944), terjadilah perubahan dalam politik kolonial Perancis. Sesudah Perang Dunia II berakhir, utusan-utusan dari Afrika berada di Paris untuk ikut serta dalam sidang Constituent Assembly bersama utusan-utusan Perancis. Peristiwa ini memberikan kesempatan daerah-daerah di Afrika untuk memiliki wakil-wakil dalam Parlemen Perancis. Sebelumnya kesempatan semacam ini hanya diberikan kepada Senegal saja.
Dalam sidang Constituent Assembly (Maret 1946), pemimpin-pemimpin Afrika memusatkan tuntutan pokok mereka agar memperoleh persamaan hak kewarganegaraan. Mereka menekankan perlunya menghapus adanya buruh paksaan, memperingan pajak-pajak, membuat peraturan tentang hak milik tanah, sistem sewa-menyewa tanah dan menaikkan standar hidup penduduk Afrika. Akan tetapi rencana konstitusi ditolak oleh wakil-wakil Perancis dan mereka berusaha untuk memperkecil konsensi yang diberikan kepada daerah-daerah diseberang lautan.
Penolakan rencana konstitusi tersebut membawa akibat besar bagi Afrika Perancis. Solidaritas dan perasaan sama penderitaan makin kuat dan membawa kekuatan untuk melakukan reaksi-reaksi dimasa-masa mendatang. Akhirnya pada Oktober 1946 tercapailah konstitusi IV yang berisi pembentukan French Union dimana semua daerah yang tergabung didalamnya mempunyai wakil didalam lembaga-lembaga legislatif Perancis : National Assembly, Senate, dan Assembly of the Union. Disamping itu dibentuk pula dewan-dewan perwakilan teritorial dan regional.
Selain Senegal, sistem pemilihan dibagi menjadi dua : untuk warganegara Perancis dan bukan warganegara. Yang disebut warganegara Perancis adalah orang-orang kulit Putih dan evolue bumiputera, sedang bukan warganegara adalah orang-orang kulit Hitam. Masing-masing memilih wakil-wakilnya secara terpisah : di Afrika Barat terdapat 8 buah dewan-dewan teritorial atau General Council. Jumlah anggota yang dipilih tidak pasti, akan tetapi walaupun jumlah pemilih yang terdiri atas orang-orang kulit Hitam merupakan mayoritas, namun jumlah wakil orang kulit putih dalam dewan-dewan lebih banyak.
Sesudah Senegal, Pantai Gading merupakan daerah yang maju. Sebenarnya daerah ini yang lebih kaya daripada Senegal. Kemakmuran tersebut diperoleh dari tanah yang subur, ekspor kopi, dan coklat, hasil tambang intan dan kayu hutan. Bandar Abidjan merupakan bandar penting sesudah Dakkar. Pemimpin terkemuka didaerah ini adalah Felix Houphouet Boigny bersama dengan pemimpin-pemimpin Afrika Barat yang lain berjuang untuk kepentingan Afrika Barat melalui lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif di Paris. Jadi Houphouet mencita-citakan adanya negara otonom yang masing-masing secara individual berhubungan dengan Paris. Sedang L. Senghor menghendaki adanya republik federal Afrika didalam French Union. Karena beda pendapat maka L. Senghor menyarankan agar Afrika Barat Perancis dibagi menjadi dua federasi : satu dengan ibukota Dakkar dan yang lain beribukota Abidjan.
Diluar Senegal dan Pantai Gading, kegiatan di Bamako (Sudan Perancis) mempunyai arti yang besar. Daerah Sudan, Niger dan Mauritania termasuk daerah yang luas, tetapi sebagian besar kering dan penduduknya sangat sedikit. Agama Islam mendapat penganut cukup banyak didaerah-daerah tersebut. Pada 1946 ketika perjuangan pemimpin-pemimpin Afrika didalam Constituent Assembly mengalami kegagalan, maka hal ini membuktikan lemahnya wakil-wakil Afrika itu. Demi kepentingan perjuangan emansipasi Afrika, 5 orang pemimpin Afrika terkemuka menandatangani suatu manifesto yang berisikan cara-cara yang praktis untuk melakukan koordinasi tugas-tugas politik mereka; suatu manifesto yang mencari cara perjuangan yang sama dalam memperjuangkan demokrasi politik dan sosial di Afrika. Lima orang tersebut yaitu : Houphouet-Bogny, G. d’Arboussier keduanya dari Pantai Gading, Yacine Diallo dari Guinea, F. D. Sissoko dari Sudan (Perancis) dan Feliq Techcaya dari Afrika Equatorial Perancis. Deklarasi ini diikuti dengan konggres di Bamako (Oktober 1946) yang dihadiri oleh beberapa ratus wakil-wakil dari Afrika Perancis. Konggres memutuskan terbentuknya partai politik interteritorial yang disebut Rassembly Democratique African (R.D.A) yang akan dipakai untuk mempersatukan pekerja-pekerja, serikat belajar, organisasi kulturil dan religious. Partai tersebut merupakan partai yang sangat kuat di Afrika Perancis Hitam.
Sesudah Afrika Barat Perancis, daerah Perancis di sebelah selatan Sahara adalah Afrika Equatorial. Kekuasaan Perancis di Afrika Tengah ini mula-mula hanya meliputi: Gabon dan Congo Perancis, keduanya terlatak ditepi pantai Lautan Atlantik. Kemudian daerahnya diperluas ke daerah Utara dan Timur Laut, disebabkan karena usaha perluasan ke Timur dan Selatan tidak mungkin karena ditentang hebat oleh Jerman dan Belgia.
Pada tahun 1910 Perancis membentuk federasi yang disebut Afrika Equatorial terdiri atas 3 koloni : Gabon, Congo Tengah, dan Ubangi Shari Tsad.
Kemudian pada 1920 Tsad menjadi daerah yang berdiri sendiri sehingga Afrika Equatorial Perancis menjadi 4 koloni : Gabon, dengan ibukotanya Libreville, Congo Tengah (Moyen Congo) dengan Ponte Noire, Ubangi Shari dengan Bangui dan Tsad dengan Fort Lami, Luas daerah seluruhnya 1 juta mil persegi. Dari empat daerah ini Gabon yang paling sedikit penduduknya, Congo lebih banyak, kemudian menyusul Ubangi Shari dan Tsad.
Anggaran belanja yang disediakan untuk keperluan koloni di Afrika Equatorial sangat terbatas. Jalan kereta api sebagai alat lalu lintas yang memungkinkan lancarnya perekonomian rakyat sampai 1939 baru mencapai 215 km. tumbuhnya industri selalu dibintangi oleh, hasil tambang dan hasil tanaman seperti gandum, kacang, ubi, minyak kelapa, tidak dapat dinikmati oleh penduduk. Kongsi-kongsi dagang besar dengan modalnya yang kuat menguasai perekonomian di Afrika Equatorial Perancis.
Sampai 1946, administrasi di Afrika Equatorial Perancis sama dengan yang berlaku didaerah-daerah Perancis lainnya. Pemerintah dalam prinsip desentralisasinya di Paris. Walaupun keadaan Afrika Equatorial lebih terbelakang daripada Afrika Barat, namun Afrika Equatorial memegang peranan dalam usaha mengubah politik kolonial Perancis di Afrika. Peristiwa dilangsungkannya konferensi Brazzaville (1946) adalah karena jasa Eboue, seorang pejabat pemerintahan di Sudan (Perancis). Eboue adalah pengambil inisiatif untuk mengadakan konferensi yang dimaksudnya untuk memperjuangkan perbaikan nasib dan perubahan kolonial untuk koloni-koloni Perancis di Afrika.
Seperti yang diakui oleh Afrika Barat Perancis, antara teori dan pelaksanaan pasal-pasal konstitusi terdapat perbedaan yang menyolok. Afrika Equatorial Perancis mendapat 6 kursi dari jumlah 622 dalam National Assembly. Dari 6 kursi tersebut 2 diantaranya disediakan untuk orang Eropa.
Kondisi ekonomi dan sosial di Afrika Equatorial Perancis pada akhir Perang Dunia II sangat menyedihkan. Dalam perkembangan selanjutnya daerah ini tidak pernah menyaingi Afrika Barat Perancis. Pandangan penduduk masih bersifat feodal banyak dari mereka yang berpendapat bahwa orang-orang Eropa masih akan melanjutkan menguasai politik negeri mereka disamping kepala-kepala yang secara tradisional memiliki kekuasaan lokal. Mereka juga berpendapat bahwa orang-orang Eropalah yang tahu banyak tentang politik. Pendapat ini dibuktikan dengan peristiwa ketika diadakan pemilihan wakil untuk Assembly pada 1945. Mereka memilih orang-orang Eropa dan hanya seorang penduduk bumiputera yang terpilih, ialah Jean Felix Tchicaya dari Moyen Congo.
b. Pelaksanaan politik kolonial Perancis di Afrika Arab.
Daerah di pantai Laut Tengah ini Maroko, Tunisia, dan Aljazair mempunyai persoalan “plural societies”. Tiga daerah ini didiami oleh kolonis-kolonis kulit putih dan penduduk bumiputera. Penduduk Aljazair jumlahnya hampir 10 juta jiwa, diantaranya satu juta jiwa adalah orang-orang Eropa sedang 9 juta lainnya orang-orang Arab Islam: Maroko dengan penduduk lebih dari 10 juta jiwa, diantaranya 200.000 adalah orang Perancis atau berasal dari Eropa; Tunisia dengan penduduk kira-kira 4 juta jiwa, diantaranya 180.000 adalah kolonis-kolonis kulit Putih.
Imperium Perancis di Afrika Barat Laut ini yang oleh orang Arab disebut daerah Maghreb (barat) semula didiami oleh orang-orang Ber-ber, kemudian datang orang-orang Arab dan pada waktu sekarang sebagian besar penduduknya terdiri atas campuran dari dua bangsa tersebut. Pada umumnya penduduk yang memiliki sifat-sifat Arab dan beragama Islam lebih dominan daripada orang-orang Ber-ber yang merupakan minoritas terutama di Maroko. Baik bahasa Arab dan maupun Ber-ber masih tetap dipakai didaera-daerah tersebut, tetapi bahasa Arab menduduki tempat yang terkemuka. Bahasa Arab dan agama Islam lebih meresap dikalangan bangsa-bangsa didaerah Afrika Utara daripada bahasa dan kebudayaan para penguasa yang lebih dulu datang, karena orang –orang Arab menanamkan pengaruhnya dengan membentuk suatu kasta penguasa yang berasal dari keturunan-keturunan orang Arab dan wanita bumiputera.
Pendudukkan Perancis terhadap tiga wilayah tersebut tidak dapat menghancurkan kesadaran nasional mereka. Perang Dunia II membawa effek yang menimbulkan bentrokan yang lebih mendalam antara penduduk bumiputera dan pemerintah Perancis. Kekalahan Perancis dalam menghadapi Nazi Jerman mengakibatkan Perancis kehilangan prestise dikoloni-koloninya di Afrika Barat Laut. Penduduk Magreb mengadakan kontak dengan tentara Inggris dan Jerman. Isolasi terhadap daerah-daerah tersebut yang dilakukan oleh Perancis mulai dihancurkan. Menjelang berakhirnya perang mereka mengetahui bahwa mandat Perancis di Syria dan Libanon telah diakhiri dan bahwa Liga Arab mulai dibentuk.
Factor-faktor tersebut diatas mengakibatkan gerakan nasionalisme makin gigih menuntut pemerintahan sendiri berdasarkan prinsip-prinsip Atlantic Charter : Mereka ingin bebas dari kolonialisme Perancis dan terhindar dari tekanan-tekanan kolonis kaum kulit Putih yang berjumlah kurang lebih satu setengah juta jiwa, menguasai tanah-tanah yang subur dan memonopoli jabatan-jabatan sosial. Kaum kolonis tersebut telah menyisihkan penduduk bumiputera yang beragama Islam dari jabatan-jabatan tingkat menengah dan atas dan mereka selalu menentang setiap usaha pemerintah dalam membawakan pembaharuan yang bersifat demokratis.
Akibat tekanan-tekanan tersebut terdapatlah perbedaan keadaan ekonomi-sosial yang menyolok. Dua lapisan masyarakat itu adalah: (1) orang asing beragama Nasrani, memiliki hak-hak istimewa dan hidupnya makmur. (2) orang-orang yang ditaklukkan, beragama Islam dan hidupnya miskin. Kecurigaan terhadap orang asing membuat situasi makin meruncing.
Pada Mei 1945 dalam kesempatan merayakan berakhirnya perang, didekat kota Constantine di Aljazair timbul kegaduhan karena peristiwa pengibaran bendera kebangsaan. Peristiwa ini diikuti dengan pembunuhan yang membawa korban sebanyak lebih kurang 1500 orang Perancis dan antara 20.000 sampai 30.000 orang Aljazair.
Sejak tahun 1830 Aljazair telah diduduki oleh Perancis; seorang gubernur jenderal ditugaskan untuk mengatur pemerintahan didaerah-daerah yang hanya meliputi daerah sepanjang pantai saja. Gubernur jenderal ini langsung menjalankan perintah-perintah dari menteri peperangan di Paris. Ketika dinasti Orleans jatuh dan digantikan pemerintah Republik II pada 1848, pemerintah militer di Aljazair diganti dengan pemerintahan yang sesuai dengan keadaan metropol, misalnya didirikan departemen-departemen dan komune-komune. Kemudian pada zaman kekaisaran II, jabatan gubernur jenderal diganti oleh menteri dan prefect-prefect. Akan tetapi pada 1860 Napoleon III mengembalikan jabatan gubernur jenderal dan menambahkan kekuasaan militer.
Ketika Perancis menghadapi krisis 1870 disebabkan karena daerah utara diduduki oleh tentara Prusia, pemerintah mengumumkan undang-undang Cremiex yang memberikan kewarganegaraan Perancis kepada penduduk Yahudi di Aljazair. Hak tersebut secara teoritis diperluas kepada orang-orang Islam, tetapi hanya sedikit dari mereka yang menggunakannya karena disertai syarat bahwa mereka harus melepaskan kesetiaannya terhadap undang-undang Islam. Undang-undang Cremiex tersebut berusaha mengikat minoritas Yahudi pada pihak kolonial Perancis.
Pada masa pemerintahan Republik Perancis III, kekuasaan gubernur jenderal tidak pasti. Kadang-kadang dibatasi sekali oleh menteri di Perancis, tetapi sesudah menginjak abad ke 20, kekuasaannya sangat besar dan ia bertanggung jawab kepada undang-undang.
Semua orang Islam dianggap sebagai “orang taklukkan Perancis” dan hanya orang Yahudi saja yang memperoleh kewarganegaraaan. Hal ini terbukti ketika pada 1903, walaupun orang-orang Aljazair telah mengganti agamanya menjadi agama Katolik Roma, namun mereka tidak diakui sebagai orang Perancis.
Sesudah Perang Dunia I berakhir, pada 1919 banyak orang Perancis memandang Aljazair sebagai bagian integrasi dari Perancis. Semua penduduk kulit Putih entah dari mana asalnya yang berdiam di Aljazair memperoleh kewarganegaraan Perancis. Karena telah dianggap berbuat jasa sewaktu Perang Dunia I, Clemenceau akan memberikan hak tersebut diatas kepada golongan elite Islam. Akan tetapi usaha tersebut ditentang oleh kaum kolonis. Demikian pula usaha pembaharuan memperluas ikut sertanya orang-orang Islam dalam pemerintahan lokal.
Pada tahun 1937 dikeluarkan undang-undang Blum-Violette yang berisi bahwa untuk taraf permulaan 21.000 golongan elit Islam akan diberi kewarganegaraan Perancis secara penuh. Undang-undang ini juga menimbulkan protes dikalangan kaum kolonis Perancis. Tetapi ketika orang-orang Aljazair menolak untuk masuk menjadi bangsa Perancis, maka dapat dikatakan bahwa politik asimilasi yang diterapkan di Aljazair itu hanyalah permainan belaka. Penolakan tersebut membuat kedudukan kaum kolonis makin teruntungkan, walaupun sejak 1919, mereka telah puas dengan memperoleh konsensi yang besar.
Di Aljazair terdapat tiga macam tipe daerah : (1) “Fullpower” Communes, daerah yang mengikuti sistem di Perancis, diperintah oleh walikota yang dipilih oleh dewan kota dan mengatur pemerintahan untuk penduduk Eropa. (2) “Mixed” Communes, diperintah oleh orang yang ditunjuk oleh gubernur jenderal dan dibantu oleh sebuah dewan yang beranggotakan orang-orang Eropa dan Islam. (3) “Native” Communes, pemimpinnya seorang Islam, dibantu oleh sebuah dewan yang beranggota bangsawan dan memerintah daerah Islam (Donar).
Pada 1947 di Aljazair dibentuk dewan lokal yang disebut Assembly Algerienne, terdiri atas dua bagian: (1) bagian Islam, semua anggotanya dipilih oleh 1.300.000 pemilih dan (2) gabungan Islam-orang Eropa dipilih oleh pemilih Eropa 370.000 dan 60.000 orang Islam yang telah diasimilasi. Adapun tugas dewan tersebut mengatur masalah-masalah yang bersifat lokal, termasuk anggaran belanja yang ada pada umumnya hanya menguntungkan para kolonis Eropa. Kolonis-kolonis ini menguasai dua pertiga tanah Aljazair dan dipergunakan untuk perusahaan perkebunan anggur.
Perbaikan dalam bidang pendidikan dilakukan dengan memperluas sekolah-sekolah untuk anak-anak Eropa dan bumiputera. Tetapi sebelum 1939 orang-orang Islam sangat sedikit yang mengirimkan anak-anaknya ke sekolah Perancis. Sampai pada 1954 orang-orang Islam pada umumnya lebih tertarik pada sekolah-sekolah Islam yang mengutamakan pelajaran tentang kebudayaan Arab daripada sekolah Eropa. Pemimpin-pemimpin terkemuka seperti Ferhat Abbas, Messali Hadji, menyampaikan tuntutan-tuntutan, sedangkan Ben Bella dan Belkasim Krim menyusun gerakan rahasia, mengumpulkan dana-dana dan senjata untuk keperluan pemberontakan yang mereka siapkan.
Sesudah Aljazair dua daerah Perancis di Afrika Barat-Laut adalah Maroko dan Tunisia. Kedua daerah tersebut berstatus protektorat, tidak seperti Aljazair yang merupakan propinsi metropolitan Perancis. Letak Maroko di pantai Laut Tengah dan Samudra Atlantik, dipintu masuk Laut Tengah membuat negeri tersebut mempenuyai nilai strategis. Tetapi pegunungan Atlas, mengakibatkan Maroko terisolasi dari bagian-bagian lain di kontinen. Oleh sebab itu, berbeda dengan daerah-daerah lain di Afrika Utara, Maroko tidak pernah dikuasai Turki. Dilain pihak pengaruh kebudayaan Eropa yang diterkuat terdapat di daerah Spanyol. Kekuasaan tersebut kira-kira telah ditanami sejak 500 tahun lamanya. Orang-orang Mor selama abad 8-15 pernah menduduki Spanyol.
Sejak 1912, sesudah diadakan perjanjian Fez, yang ditanda-tangani, oleh Sultan Maroko dan pemerintah Perancis. Maroko menjadi daerah protektorat Perancis, Sultan Maroko Maulay Abdul al-Hafid, masih tetap menjadi kepala negara, walaupun hanya sebagai lambang. Pemerintah dipegang olah residen jenderal Perancis dan bertindak atas nama Perancis.
Residen jenderal pertama Hubert Lyautey bertugas melakukan pasifikasi dan melaksanakan politik asimilasi. Dalam menjalankan tugas Lyautey, sangat berhati-hati dan sangat banyak mengetahui kehidupan koloni, mengenal orang-orang Maroko dari dekat dan mempunyai pengetahuan yang dalam tentang agama Islam.
Politik Lyautey terhadap tanah, mula-mula agak berbeda dengan apa yang dilakukan di Aljazair dan Tunisia. Tanah-tanah yang subur banyak dikerjakan oleh penduduk bumiputera dan menjadi milik mereka. Hal ini disebabkan karena Lyautey khawatir apabila tanah-tanah dikuasai oleh para “colon” penduduk yang terkenal suka berperang ini akan melakukan pemberontakan. Baru pada 1916 politik Lyautey terhadap tanah diubah, sedikit demi sedikit tanah Maroko jatuh ke tangan kolonis Putih.
Dalam bidang pemerintahan, walaupun dalam kenyataannya Sultan mempunyai kekuasaan, lembaga-lambaga bumiputera dibiarkan terus berlangsung dan disampingnya dimasukkan lembaga-lembaga pemerintahan yang berasal dari Perancis. Sekolah-sekolah dibuka baik untuk anak-anak Eropa maupun Islam, sedang sekolah untuk anak-anak suku Ber-ber disendirikan. Akan tetapi sedikit sekali anak-anak Islam yang tertarik dengan pendidikan Barat tersebut.
Selain tanahnya yang subur, sumber kekayaan alamnya sangat menarik modal asing untuk masuk ke Maroko. Hasil pertambangan yang menduduki tempat tertinggi adalah phosphat, kemudian menyusul secara berturut-turut batubara, besi, mangan, timah, seng, dan kobal.
Setahun sebelum residen jenderal tersebut meninggalkan posnya di Maroko, Abdul Karim pemimpin pemberontakan Riff di Maroko Spanyol. Ia terkenal sangat berani dan mengancam akan memperluas operasinya ke daerah Maroko Perancis (1924). Untuk menghadapi bahaya tersebut Marshall Petain dikirim ke Maroko. Tentara Perancis dan Spanyol berhasil mematahkan perlawanan kaum pemberontak (1925). Beberapa bulan kemudian Leautey meninggalkan posnya di Maroko.
Pengganti-penggantinya tidak pernah meneruskan politik yang telah dirintis oleh Leautey. Residen jenderal Theodore Steeg tidak pernah mengenal penduduk Maroko dari dekat. Tindakan-tindakan yang diambilnya menimbulkan ketegangan-ketegangan di Maroko, berarti cita-cita Leautey untuk melakukan politik asimilasi di Maroko secara berangsur-angsur tidak mungkin dapat tercapai.
Golongan elit yang berpendidikan Barat tampil ke depan sebagai motor bagi gerakan kebangsaan di negerinya. Dikota Fes muncul organisasi yang berdasarkan agama Islam, dipimpin oleh Allal al Fassi. Disamping itu di Rabat juga berdiri organisasi yang dipengaruhi oleh Balafrei, seorang cendikiawan keluaran universitas di Fuad Kairo dan fakutas sastra dan hukum di Paris. Pada 1927 kedua organisasi tersebut bersatu merupakan Liga Maroko, yang menuntut pembaharuan-penbaharuan dan kemajuan-kemajuan bagi Maroko.
Untuk memperluas cita-cita perjuangan tersebut dikalangan rakyat banyak, maka diterbitkan surat kabar “Magreb” (1932), dipimpin oleh tokoh-tokoh muda seperti : Al-Gazzani, Belafrej, Lyaziddi, dan Naciri. Di Fez diterbitkan berbahasa Perancis “L’Action du Peuple” dipimpin oleh Al-Quazzani.
Pada 1934, tokoh-tokoh Nasionalis Maroko mengeluarkan pernyatan yang terkenal sebagai “Rencana Perubahan di Maroko” yang dalam garis besarnya menuntut pengluasan hak untuk rakyat Maroko. Pada 1936, kaum Nasionalis mengajukan permohonan agar diadakan kesatuan dalam pemberian kesempatan menuntut ilmu, berarti sekolah untuk anak-anak suku Berber yang semula disendirikan, supaya dihapuskan. Disamping itu mereka juga menuntut supaya pemerintah memberi kesempatan bagi orang-orang Maroko untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan menuntut perlindungan bagi petani–petani bumi putra terhadap penetrasi kaum “Colon”, menuntut pemberian perlindungan dari isapan lintah–lintah darat.
Periode 1936 – 1943 dalam sejarah pergerakan Maroko diisi dengan berbagai pertentangan diantara pemimpin–pemimpinnya. Tiada seorangpun memperoleh dukungan kuat dari masyarakat selain Sultan Muhammad V.
Sementara itu pemimpin–pemimpin nasionalis di Maroko Spanyol seperti Abdulhaleq Torres dan Naciri menggunakan kesempatan sebaik–baiknya dari perang saudara di Spanyol. Mereka menawarkan bantuan kepada kaum loyalis dan sebagai kompensasinya mereka menuntut kemerdekaan negerinya. Tawaran tersebut ditolak, maka pemimpin–pemimpin tersebut menawarkan bantuan bantuan kepada Jenderal Franco sebagai gantinya. Jenderal Franco akan memberikan pembaharuan–pembaharuan, bukan kemerdekaan. Bergabungnya pemimpin–pemimpin Maroko Spanyol pada pihak Franco menguntungkan Jerman, sekutu Franco. Pada 1938 Pemerintah Jerman mencatat adanya 50.000 – 60.000 tentara Maroko yang diperbantukan pada angkatan perang Franco. Jerman dimungkinkan memperoleh besi dari Maroko Spanyol dan penetrasi Nazi di Maroko tersebut membawa kekhawatiran pada Perancis akan terjadinya ‘Krisis Maroko” lagi.
Seperti halnya di Maroko Perancis, pemimpin–pemimpin di Maroko Spanyol tidak dapat bersatu. Torres dan Naciri masing–masing mendirikan partai yang satu dengan lainnya tidak dapat bekerjasama. Ketika terjadi Perang Dunia II (1939). Sultan Mohammad V memihak sekutu, mengirimkan tentara sebanyak 20.000 untuk membantu Perancis menghadapi tentara Nazi. Akan tetapi sesudah Perancis diduduki oleh Jerman (1940) dan residen Jenderal Nagues di Maroko taat kepada pemerintah Vichy, maka terjadillah pertentangan–pertentangan dengan Sultan. Diantaranya adalah bahwa Sultan menolak menandatangani dekrit tentang undang–undang anti Yahudi yang akan diumumkan oleh residen jendral dalam protektorat Maroko. Ketika pada 1942 pasukan-pasukan Inggris–Amerika mendarat di Maroko, Nogues memerintahkan adanya perlawanan yang terdiri atas tentara Perancis Maroko. Akan tetapi Sultan memerintahkan agar tentaranya bekerja sama dengan tentara Amerika. Selanjutnya pada tahun 1943 Sultan mengadakan pertemuan dengan presiden Franklin Roosvelt di kota Anfa dekat Casablanca. Sementara itu De Gaulle yang waktu ituberda di London, berusaha menghubungi alfasizi untuk mengunakan pengaruhnya melawan regime Vichi di maroko.
Tiga peristiwa penting jatuhnya kekuasaan Perancis oleh Jerman. Pendaratan Inggris-Amerika di Maroko dan pertemuan sultan dengan presiden Franklin Roosevelt disambut gembira oleh kaum nasionalis dan mereka mulai menghentikan pertentangan-pertentangan yang bersifat pribadi. Di Maroko Spanyol mereka bersatu dalam pakta Nasional. sedang Balafrei berhasil mendirikan Istiqlal. Partai kemerdekaan pada Desember 1943. mereka berjuang menuntut kemerdekaan tetapi ditentang keras oleh pemerintah Perancis yang berpegangan pada ketentuan perjanjian Fez yang menyatakan bahwa status Maroko adalah protektorat yang “tidak dapat dipisahkan dari Perancis”. Maka residen Jendral Gabriel Pauax melakukan penangkapan-penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin Istiqlal dengan tuduhan melakukan kolaborasi dengan Jerman. Akibatnya menimbulkan demontrasi di Rabat dan Fez yang disertai pembunuhan-pembunuhan dan penahanan-penahanan.
Sultan Maroko memegang peranan yang penting. Pada 1947, Ia mengunjungi Tangier, kota internasional. Sejak 1899 tidak ada Sultan di Maroko yang mengunjungi kota tersebut. Sultan mengucapkan pidato dan berbicara tentang “hak-hak yang sah milik penduduk Maroko”. Kemudian sultan menyatakan kepada pers tentang penggabungan Maroko kepada Liga Arabdan dunia di Laut Tengah bagian Timur.
Dibandingkan dengan Ajazair, dan Maroko,Tunisia adalah yang paling kecil wilayahnya. Sejak perjanjian Bardo ditandatangani (1881), hubungan antara pemerintah Tunisia dan konsul-konsul asing diawasi oleh residen Perancis. Perancis menjanjikan akan melindungi Bey serta wilayahnya terhadap serangan-serangan lawan.
Bagi Perancis perjanjian Bardo tersebut memberi kesempatan yang luas untuk mengatur keuangan Tunisia dan akhirnya secara De Fakto pada akhir 1881 daerah Bey telah diduduki Perancis. Baru pada 1883 Tunisai dinyatakan sebagai daerah protektorat Perancis.
Tindakan Perancis terhadap Tunisia menggagalkan seluruh cita-cita Italia untuk menguasai daerah tersebut. Penguasaan ini dimaksudkan untuk penampungan penduduk Italia yang berkembang amat pesat dan untuk pangkalan penguasaan daerah Laut Tengah bagian Barat. Akan tetapi walaupun secara politis kedudukan Italia di Tunisia terdesak, namun jumlah kolonis Italia adalah yang terbesar diantara kolonis-kolonis bangsa Barat lainnya. Kolonis Italia berjumlah kira-kira 11.200 jiwa, sedang kolonis Perancis hanya 700 jiwa. Akibatnya Italia masih selalu berusaha untuk mendapatkan Tunisia. Pada 1882 Italia menggabungkan diri pada kelompok Jerman dan Austria-Hongaria, sehingga terciptalah suatu aliansi yang terkenal dengan nama Triple Alliance.
Untuk menghadapi masalah kolonis Italia di Tunisia, Perancis menggunakan sistem yang dipakainya di Aljazair. Di Aljazair dibagian Timurjuga terdapat kolonis-kolonis Italia dalam jumlah yang cukup besar. Pemerintah Perancis mengumumkan bahwa anak-anak kolonis-kolonis Italia tersebut bersama generasi-generasi berikutnya dengan sendirinya masuknya warganegara Perancis. Ketika pada 1926, diadakan sensus warganegara Perancis tercatat 71.029 jiwa dan warganegara Italia 89.125 jiwa.
Tunisia tidak kaya akan sumber-sumber kekayaan yang berupa tambang-tambang. Ada beberapa pertambangan seperti phosphat, besi, baja, dan seng tetapi kualitas phosphat Tunisia tidak sebaik punya Maroko. Hasil pertanian berupa Gandum dan tembakau. Di Tunisia tidak dapat didirikan industri modern, karena tidak memiliki hasil bahan bakar, terutama batubara dan minyak. Jika kedua bahan itu diimpor, masih ada kesulitan lainnya yang harus diatasi, ialah persediaan air yang cukup atau penggunaan kekuatan Hydro-Elektris.
Modal Perancis adalah yang terbesar diantara modal-modal yang ditanam di Tunisia. Pada umumnya diusahakan dalam perkebunan didaerah Tell dan sepanjang pantai. Untuk memperlancar perekonomian, pemerintah membuat jalan-jalan raya kurang lebih 6.000 mil dan jalan kereta api 1.300 mil. Bandar-bandar Tunis dan La Goulette diperbaiki disesuaikan dengan kebutuhan kapal-kapal besar.
Pemerintah Perancis di Tunisia seperti halnya di Maroko, tidak dapat bertindak leluasa seperti di Aljazair. Adat kebiasaan dan lembaga-lembaga lama masih dibiarkan tetap berlangsung tetapi disamping itu pemerintah memasukkan sistem pemerintahan modern Perancis. Adanya Bey di Tunisia dan Sultan di Maroko menghambat usaha Perancis melaksanakan “Direct Rule”, pola pemerintahan Perancis di Aljazair, para “colon” selalu mempengaruhi pemerintah; mereka menganggap bahwa tanah tersebut adalah milik Perancis.
Dalam bidang pendidikan Tunisia lebih maju daripada dua daerah Perancis lainnya. Berhubung kemajuan lebih pesat, maka kaum inteligensia memiliki pengetahuan yang lebih luas dan pengalaman yang lebih mendalam. Pergerakan kebangsaan di Tunisia lahir lebih dulu. Gerakan-gerakan anti kolonialisme datang dari Paris. Sejak 1907, kaum muda Tunisia sudah dipengaruhi oleh gerakan Turki Muda dan pembaharuan-pembaharuan Islam seperti yang dikemukakan oleh Mohammad Abduh.
Pemerintah Perancis yang sedang dalam proses melaksanakan sistem “Direct Rule” sangat menentang gerakan-gerakan tersebut. Akibatnya terjadilah beberapa insiden pada 1911, pada waktu pemerintah Perancis berusaha mengalihkan hak milik tanah-tanah suci agama Islam kepada orang-orang Eropa. Bentrokan ini mengakibatkan beberapa pemimpin Tunisia diasingkan.
Sesudah Perang Dunia I berakhir, semboyan “self determination” telah didengungkan oleh kaum muda, akan tetapi kaum tua pada waktu itu belum bersedia bekerjasama. Baru sesudah terjadi peristiwa yang bersifat ekonomis-religius pada 1919, kedudukan kaum muda menjadi lebih kuat. Pada waktu pemerintah Perancis berusaha mengalihkan hak milik sebagian besar tanah habous yang dikuasai oleh kelompok Islam kepada petani-petani Eropa.
Pada 1920, dibentuk suatu partai yang disebut Destour (konstitusi) dibawah pimpinan Sheik Taalbi. Programnya menuntut sebuah konstitusi bagi Tunisia yang dibuat oleh sebuah majelis yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil Tunisia dan wakil-wakil Perancis. Program tersebut tidak dapat diterima oleh pemerintah.
Tokoh terkemuka dalam pergerakan nasional di Tunisia adalah Habib Bourquiba, seorang ahli hukum dan jurnalis pernah belajar di Sorbonne. Pada 1934, Ia mendirikan partai “Neo Destour” yang berprogram mencapai kemerdekaan secara evolusioner. Mula-mula menuntut suara dalam protektorat, kemudain otonomi intern dan akhirnya kemerdekaan.
Ketika terjadi Perang Dunia II, Habib Bourquiba memberikan bantuan kepada sekutu, walaupun Ia sangat dimusuhi oleh Perancis. Dengan tindakan itu Ia berharap apabila perang sudah berakhir dan sekutu menang, Perancis akan meluluskan tuntutan partainya. Tetapi sesudah perang selesai, sikap Perancis hampir tidak berubah dengan sikapnya pada masa sebelum perang. Oleh sebab itu Neo Destour tetap berjuang dan Habib Bourquiba mencari bantuan ke luar negeri, diantaranya ke Kairo tempat kedudukan Liga Arab, ke Timur Tengah dan ke Amerika. Tokoh-tokoh lainnya ialah Ferhat Hached, Dr. Mohammad Materi, Tahar Star, dan Saleh ben Yussup. Dengan melalui perjuangan militan, akhirnya Tunisia mendapatkan otonomi (1955) dan setahun kemudian (1956) memperoleh kemerdekaan.

2.4 Reaksi Penduduk Lokanl dan Internasional Terhadap Politik Kolonial Prancis di Afrika
a. Reaksi Penduduk Lokal
Diterapkannya politik kolonial Pranscis di Afrika pada awalnya penduduk lokal menerima keadaan itu. Tetapi perkembangan selanjutnya setelah penduduk lokal melihat bahwa Prancis semakin menguasai mereka mulailah muncul keinginan untuk lepas dari kekuasaan Prancis, terutama penduduk yang telah mendapat pendidikan dari Prancis. Tokoh-tokoh yang muncul seperti: Felix Houphouet Boigny bersama dengan pemimpin-pemimpin Afrika Barat yang lain berjuang untuk kepentingan Afrika Barat melalui lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif di Paris. Jadi Houphouet mencita-citakan adanya negara otonom yang masing-masing secara individual.
Sesudah Perang Dunia I berakhir, semboyan “self determination” telah didengungkan oleh kaum muda, akan tetapi kaum tua pada waktu itu belum bersedia bekerjasama. Baru sesudah terjadi peristiwa yang bersifat ekonomis-religius pada 1919, kedudukan kaum muda menjadi lebih kuat. Pada waktu pemerintah Perancis berusaha mengalihkan hak milik sebagian besar tanah habous yang dikuasai oleh kelompok Islam kepada petani-petani Eropa.
Demi kepentingan perjuangan emansipasi Afrika, 5 orang pemimpin Afrika terkemuka menandatangani suatu manifesto yang berisikan cara-cara yang praktis untuk melakukan koordinasi tugas-tugas politik mereka; suatu manifesto yang mencari cara perjuangan yang sama dalam memperjuangkan demokrasi politik dan sosial di Afrika. Lima orang tersebut yaitu : Houphouet-Bogny, G. d’Arboussier keduanya dari Pantai Gading, Yacine Diallo dari Guinea, F. D. Sissoko dari Sudan (Perancis) dan Feliq Techcaya dari Afrika Equatorial
Factor-faktor tersebut diatas mengakibatkan gerakan nasionalisme makin gigih menuntut pemerintahan sendiri berdasarkan prinsip-prinsip Atlantic Charter : Mereka ingin bebas dari kolonialisme Perancis dan terhindar dari tekanan-tekanan kolonis kaum kulit Putih yang berjumlah kurang lebih satu setengah juta jiwa, menguasai tanah-tanah yang subur dan memonopoli jabatan-jabatan sosial. Kaum kolonis tersebut telah menyisihkan penduduk bumiputera yang beragama Islam dari jabatan-jabatan tingkat menengah dan atas dan mereka selalu menentang setiap usaha pemerintah dalam membawakan pembaharuan yang bersifat demokratis.
b. Reaksi dari dunia Internasional
Ketika Prancis diduduki oleh Jerman maka Prancis dan Jerman menjalin kerjasama, juga dengan pemerintah di Inggris. Tetapi Eboue seorang pemimpin Afrika tengah, lebih memihak perintah di Inggris, dan ia mengusulkan diadakannya konferensi di Brazzaville tahun 1944. untuk membicarakan daerah koloni-koloni. Tujuan koferensi ini adalah: untuk membentuk dewan perwakilan di koloni, membentuk parlemen koloni baru di Paris, mengadakan pembaharuan dalam bidang ekonomi, dan sosial. Penduduk Magreb mengadakan kontak dengan tentara Inggris dan Jerman. Isolasi terhadap daerah-daerah tersebut yang dilakukan oleh Perancis mulai dihancurkan. Menjelang berakhirnya perang mereka mengetahui bahwa mandat Perancis di Syria dan Libanon telah diakhiri dan bahwa Liga Arab mulai dibentuk.
Ketika terjadi Perang Dunia II, Habib Bourquiba memberikan bantuan kepada sekutu, walaupun Ia sangat dimusuhi oleh Perancis. Dengan tindakan itu Ia berharap apabila perang sudah berakhir dan sekutu menang, Perancis akan meluluskan tuntutan partainya. Tetapi sesudah perang selesai, sikap Perancis hampir tidak berubah dengan sikapnya pada masa sebelum perang. Oleh sebab itu Neo Destour tetap berjuang dan Habib Bourquiba mencari bantuan ke luar negeri, diantaranya ke Kairo tempat kedudukan Liga Arab, ke Timur Tengah dan ke Amerika. Tokoh-tokoh lainnya ialah Ferhat Hached, Dr. Mohammad Materi, Tahar Star, dan Saleh ben Yussup. Dengan melalui perjuangan militan, akhirnya Tunisia mendapatkan otonomi (1955) dan setahun kemudian (1956) memperoleh kemerdekaan. Reaksi dunia Internasional terhadap penerapan kolonial prancis di Afrika memberi tanggapan terutama ketika rakyat meminta bantuan terhadap dunia internasional.
2.4 Perubahan yang terjadi di Afrika dengan adanya politik kolonial Prancis.
Penerapan politik Kolonial Prancis di Afrika ini banyak membawa perubahan baagi rakyat Afrika. Hampir semua aspek kehidupan mengalami perubahan. Hal ini dapat terlihat pada:
a. Bidang Politik
Golongan elit yang berpendidikan Barat tampil ke depan sebagai motor bagi gerakan kebangsaan di negerinya. Dikota Fes muncul organisasi yang berdasarkan agama Islam, dipimpin oleh Allal al Fassi. Disamping itu di Rabat juga berdiri organisasi yang dipengaruhi oleh Balafrei, seorang cendikiawan keluaran universitas di Fuad Kairo dan fakutas sastra dan hukum di Paris. Pada 1927 kedua organisasi tersebut bersatu merupakan Liga Maroko, yang menuntut pembaharuan-penbaharuan dan kemajuan-kemajuan bagi Maroko. Dengan melalui perjuangan militan, akhirnya Tunisia mendapatkan otonomi (1955) dan setahun kemudian (1956) memperoleh kemerdekaan.
b. Bidang sosial dan budaya
Kebudayaan dan kehidupan sosial di Afrika dengan adanya politik kolinaial Prancis membawa perubaahan bagi penduduk Afrika. Prancis mulai menerapkan peraturan untuk meninggalkan budaya Afrika dan mengikuti budaya Prancis. Hal ini berhasil dilakukan walaupun tidak secara keseluruhan berubah. Demikian juga dalam Agama Prancis menekankan penduduk untuk memeluk agama Nasrani.
c. Bidang pendidikan
Penerapan politik kolonial di Afrika membawa perubahan bagi penduduk Afrika terutama bidang pendidikan. Pada awalnya Prancis memberikan pendidikan bagi penduduk Afrika demi perkembangan dan kepentingan Prancis, namun dengan adanya pendidikan ini membawa perubahan yang semakin besar bagi penduduk Afrika. Mereka semakin menyadari bahwa mereka dieksploitasi. Hal ini memunculkan nasionalisme bagi Afrika.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebelum Perang Dunia II, politik kolonial Prancis dijalankan berdasarkan dokrin ”asimilasi”. Teori ini mendasarkan orang-orang Afrika dapat dijadikan orang Prancis. Prinsip asimilasi tersebut mengandung gagasan yang tercetus dalam zaman revolusi”equality” dan fraternity”, serta filsafat politiknya ”paternalisme”. Tujuan polotik ini dilaksakan untuk mengintegrasi daerah milik daerah di seberang lautan dengan Prancis, mengasimilasi penduduk koloni dalam rangkaian mengintegras penduduk diluar Prancis dalam segala aspek kehidupan (politik, sosial, ekonomi, etnis, religius, maupun kulturil). Dalam mencapai tujuan ini maka bahasa-bahasa Afrika dan kebudayaannya tidak diberikan dalam pendidikan kolonial Prancis.
Adanya konsep kolonial Prancis di Afrika dijalankan demi membentuk bloc francais, bahwa politik kolonial Prancis tidak akan pernah memajukan daerah koloninya ke perintahan sendiri. Dengan mengasimilasi penduduk di Afrika maka dibutuhkan koloni yang berpendidikan Prancis serta pemimpin-pemimpin politik yang dapat membantu Prancis dalam mewujudkan inpian Prancis di Afrika.
Pelaksanan Politik kolonial prancis di Afrika tidak sama, Prancis menyesuaikan situasi penduduk Afrika dan kebudayaan, serta perkembangan tempat tersebut. Dalam pelaksanaan politik kolonial ini, pada awalya penduduk lokal tidak memberi reaksi apa-apa tetapi setelah mereka menyadari bahwa mereka dieksploitasi, terutama setelah mereka mendapat pendidikan muncullah suatu tuntutan untuk lepas dari kekuasaan Prancis. Dari dunia Internasional tetap memberi tanggapan terutama ketika Afrika meminta bantuan. Adanya politik kolonial Prancis di Afrika banyak membawa perubahan baik dalam bidang politik, pendidikan, dan sosial budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Soeralman Darsiti. 1974. Sejarah Afrika Zaman Imperialisme Modern Jilid II. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Soebantardjo. 1959. Sari Sedjarah Eropah-Amerika. Bopkri, Yogyakarta

SUMBER INTERNET

http://www.wikipedia.com

Tinggalkan komentar